Keep Share what i can find for you all netizen

Advertisement

Saturday 10 November 2012

Hukum, Hukuman dan Macam-macam Riba


Hukum dasar harta ada tiga: adil, utama, dan zalim. Maka adil adalah jual beli, utama adalah sedekah, dan zalim adalah riba dan semisalnya.
Riba adalah tambahan dalam penjualan dua barang yang berlaku riba pada keduanya.
v  Hukum riba:
  1. Riba termasuk dosa besar, dan diharamkan dalam semua agama samawi, karena mengandung bahaya besar. Ia menyebabkan permusuhan di antara menusia dan membawa kepada membesarnya harta atas hitungan penarikan harta orang fakir. Padanya merupakan kezaliman bagi yang membutuhkan, penguasaan orang kaya terhadap orang fakir, menutup pintu sedekah dan perbuatan baik, dan membunuh syi'ar kasih sayang pada manusia.
  2. Riba adalah memakan harta manusia dengan cara yang batil, menghilangkan segala usaha, perdagangan dan perindustrian yang dibutuhkan manusia. Orang yang melakukan riba menambah hartanya tanpa bersusah payah, maka ia meninggalkan perdagangan yang dibutuhkan manusia. Tidak ada seseorang yang banyak melakukan riba melainkan pada akhirnya adalah sedikit.

v  Hukuman riba:
Riba termasuk dosa besar, dan Allah SWT telah mengumumkan peperangan kepada pemakan riba dan yang mewakilkannya di antara semua dosa yang lain.
1.         Firman Allah SWT:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٢٧٨ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ ٢٧٩ ﴾ [البقرة: ٢٧٨،  ٢٧٩] 
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. * Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."    (QS. Al-Baqarah: 278-279).
2.         Dari Jabir r.a, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهُ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
"Rasulullah SAW mengutuk orang yang memakan riba, yang mewakilkannya, penulisnya, dan dua orang saksinya, dan Beliau bersabda, 'Mereka itu sama (dalam dosa)." (HR. Muslim).1
3.       Dari Abu Hurairah r.a,  Nabi SAW bersabda:
اِجْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ, وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَات ِالْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ.
"Jauhilah tujuh (7) perkara yang membinasakan. Mereka bertanya, 'Ya Rasulullah, perkara apakah itu?' Beliau bersabda: 'Menyekutukan Allah SWT, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh wanita mukmin yang menjaga diri.' (Muttafaqun 'alaih). 2

v  Pembagian riba:
1.      Riba nasi'ah: yaitu tambahan yang diambil penjual dari pembeli sebagai imbalan pemberian tempo. Seperti ia memberikannya seribu secara kontan dengan syarat ia membayarnya setelah satu tahun sebanyak seribu seratus, umpamanya. Termasuk di antaranya adalah membalik hutang kepada orang yang susah. Yaitu seseorang mempunyai tagihan harta secara bertempo kepada seorang laki-laki. Maka apabila telah jatuh tempo, ia (yang meminjamkan uang) berkata kepadanya (yang meminjam uang), 'Apakah engkau membayar atau menambah? Maka jika ia membayarnya (maka urusannya selesai), dan jika ia tidak membayarnya, yang ini (yang meminjamkan uang) menambah temponya dan yang ini (yang berhutang) menambah harta. Maka berlipatgandalah harta dalam tanggungan yang berhutang. Inilah asal mula riba pada masa jahiliyah. Maka Allah SWT mengharamkannya dan mewajibkan menunggu orang yang susah. Ia adalah jenis riba yang paling berbahaya, karena begitu besar bahayanya. Dan sungguh telah tergabung riba padanya dengan berbagai jenisnya: riba nasi'ah, riba fadhl, dan riba hutang.
v  Firman Allah SWT:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٣٠ ﴾ [ال عمران: ١٣٠] 
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan."    (QS. Ali Imran: 130).
v  Firman Allah SWT:
﴿ وَإِن كَانَ ذُو عُسۡرَةٖ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيۡسَرَةٖۚ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٨٠ ﴾ [البقرة: ٢٨٠] 
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 280).
Dan termasuk di antaranya adalah sesuatu yang terdapat pada jual beli dua jenis yang sama-sama mengandung 'ilat riba radhl, di sertai ditunda penyerahan keduanya, atau penyerahan salah satu dari keduanya. Seperti jual beli emas dengan emas, gandum dengan gandum, dan semisal keduanya. Dan seperti penjualan satu jenis dengan jenis lain dari semua jenis ini secara bertempo.
2.  Riba fadhl: yaitu jual beli uang dengan uang, makanan dengan makanan disertai tambahan. Hukumnya haram. Syari'at menjelaskan atas haramnya pada enam perkara, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ, وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ  وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ. مِثْلاً بِمِثْلٍ, يَدًا بِيَدٍ. فَاِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ اِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. أخرجه مسلم.
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum halus dengan gandum halus, gandum kasar dengan gandum kasar, kurma dengan kurma, garam dengan garam, seumpama dengan seumpamanya, tangan dengan tangan (kontan). Apabila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah sebagaimana kamu kehendaki, apabila kontan." (HR. Muslim). 3

Diqiyaskan (analogikan) atas enam jenis ini segala yang sesuai dengannya pada 'illat (sebab): pada emas dan perak (barang berharga), dan pada empat yang tersisa (takaran dan makanan) (atau timbangan dan makanan).
Takaran adalah takaran Madinah dan timbangan adalah timbangan ahli Makkah, dan sesuatu yang tidak ditemukan pada keduanya, kembali padanya kepada urf (kebiasaan orang banyak). Dan segala sesuatu yang haram padanya riba fadhl, haram padanya riba nasi`ah.
3.      Riba hutang: gambarannya adalah bahwa seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain, dan disyaratkan atasnya bahwa ia mengembalikan yang lebih baik darinya, atau mensyaratkan atasnya manfaat apapun jua. Seperti menempati rumahnya selama satu bulan misalnya. Hukumnya haram. Maka jika tidak mensyaratkan dan yang meminjam memberikan manfaat atau tambahan dengan dirinya (karena kerelaannya), niscaya boleh dan diberi pahala.
v  Hukum-hukum riba fadhl:
1.          Apabila jual beli pada satu jenis riba, haram padanya berlebihan dan bertempo, seperti seseorang menjual emas dengan emas, atau gandum dengan gandum dan semisal keduanya. Maka disyaratkan untuk sahnya penjualan ini samanya pada jumlah dan serah terima pada saat itu, karena samanya dua benda yang ditukar pada jenis dan ilat (sebab).
2.            Apabila jual beli pada dua jenis yang sama pada ilat riba fadhl, dan keduanya berbeda pada jenis, haram bertempo dan boleh berlebihan, seperti seseorang menjual emas dengan perak, atau gandum halus dengan gandum kasar, dan semisal keduanya. Maka boleh jual beli disertai berlebihan, apabila serah terima pada saat itu, secara kontan, karena keduanya berbeda pada jenis, dan sama pada ilat.
3.            Apabila jual beli di antara dua jenis riba yang tidak sama pada ilat, boleh berlebihan dan bertempo seperti ia menjual makanan dengan perak, atau makanan dengan emas dan semisalnya. Maka boleh berlebihan dan bertempo, karena perbedaan dua benda yang ditukar pada jenis dan sebab.
4.      Apabila jual beli di antara dua jenis yang bukan riba, boleh berlebihan dan bertempo, seperti ia menjual unta dengan dua ekor unta, atau pakaian dengan dua pakaian dan semisal keduanya, maka boleh berlebihan dan bertempo.
Tidak boleh menjual salah satu di antara dua jenis dengan yang lain kecuali keduanya berada pada satu tingkatan pada sifat, maka ruthab tidak dijual dengan kurma kering, karena ruthab berkurang apabila sudah kering, maka terjadilah berlebihan yang diharamkan.
Tidak boleh menjual yang dibuat perhiasan dari emas atau perak dengan jenisnya secara berlebihan, karena bikinan/ produksi pada salah satu yang ditukar. Akan tetapi ia menjual yang ada bersamanya dengan dirham, kemudian ia membeli yang sudah dibuat perhiasan.
Bunga-bunga yang diambil oleh bank-bank pada masa sekarang atas hutang-hutang termasuk riba yang diharamkan, dan bunga-bunga yang diberikan bank-bank sebagai imbalan menyimpan uang adalah riba yang tidak boleh bagi seseorang mengambil manfaatnya, tetapi ia harus berlepas diri darinya.
Apabila kaum muslimin membutuhkan menyimpan  atau transfer (uang), harus lewat bank-bank Islam. Jika tidak ditemukan, karena terpaksa, boleh menyimpan di bank lainnya, akan tetapi tanpa mengambil bunga, dan transfer dari selainnya selama tidak menyalahi syari'at.
Haram hukumnya bekerja di bank atau perusahaan apapun yang mengambil atau memberikan riba, dan harta (gaji) yang diambil pekerja padanya adalah haram yang diancam siksaan atasnya.
v  Bagaimana melepaskan diri dari harta-harta riba:
Riba termasuk dosa besar, dan apabila Allah SWT telah memberi karunia kepada orang yang menjalankan riba dan ia bertaubat kepada Allah SWT, dan ia mempunyai harta yang terkumpul dari riba, dan ia ingin melepaskan diri darinya, maka ia tidak lepas dari dua perkara:
1.          Bahwa riba itu untuknya yang berada dalam jaminan manusia yang ia belum mengambilnya, maka di sini ia mengambil modal hartanya dan meninggalkan riba yang lebih atasnya.
2.   Bahwa harta-harta riba itu diambil di sisinya, maka janganlah ia mengembalikannya kepada pemiliknya dan jangan pula memakannya, karena ia adalah usaha yang kotor. Akan tetapi ia berlepas diri darinya dengan berbuat baik dengannya, atau menjadikannya pada proyek-proyek bermanfaat, karena berlepas diri darinya, seperti menerangi jalanan dan melayaninya, membangun W.C-W.C. dan semisalnya.
Tidak ada riba pada hewan selama ia masih hidup, dan seperti ini pula setiap yang dihitung. Maka boleh menjual satu ekor unta dengan dua ekor dan tiga ekor unta. Apabila ia menjadi ditimbang atau ditakar, berlakulah riba padanya. Maka tidak boleh menjual satu kilogram daging kambing dengan dua kilogram daging kambing. Dan boleh menjual satu kilogram daging kambing dengan dua kilogram daging sapi, karena perbedaan jenis, apabila terjadi serah terima pada saat itu.
Boleh membeli emas untuk dimiliki, atau untuk tujuan keuntungan, seperti membelinya saat turun harganya dan menjualnya saat harganya naik.

Referensi
  1. HR. Muslim no.1598
  2. HR. Bukhari No. 2766, ini adalah lafazhnya, dan Muslim No. 89.
  3. HR. Muslim No. 1587.


Sumber             : Islam House
Oleh                   : Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri
Diterjemahkan : Team Indonesia islamhouse.com
Editor                 : Eko Haryanto Abu Ziyad & Mohammad Latif. Lc



Ketentuan dan Srarat-Syarat Sah Serta Macam-macam Jual-Beli dalam Islam



Islam adalah agama yang sempurna, datang dengan mengatur hubungan antara Sang Khaliq (Allah SWT) dan makhluk, dalam ibadah untuk membersihkan jiwa dan mensucikan hati. Dan (Islam) datang dengan mengatur hubungan di antara sesama makhluk, sebagian mereka bersama sebagian yang lain, seperti jual beli, nikah, warisan, had dan yang lainnya agar manusia hidup bersaudara di dalam rasa damai, adil dan kasih sayang.
v  Aqad (transaksi) terbagi tiga:
  1. Aqad pertukaran secara murni, seperti jual beli, sewa-menyewa, dan syarikat (perseroan) dan semisalnya.
  2.  Aqad pemberian secara murni, seperti hibah (pemberian), sedekah, pinjaman, jaminan, dan semisalnya.
  3.  Aqad pemberian dan pertukaran secara bersama-sama, seperti qardh (hutang), maka ia termasuk pemberian karena ia dalam makna sedekah, dan pertukaran di mana ia dikembalikan dengan  semisalnya.
v  Bai' (jual-beli): yaitu pertukaran harta dengan harta untuk dimiliki.
Seorang muslim bekerja dalam bidang apapun jenis usahanya adalah untuk menegakkan perintah Allah SWT dalam pekerjaan itu, dan untuk mendapatkan ridha Rabb SWT dengan menjunjung perintah-perintah-Nya dan menghidupkan sunnah Rasul SAW dalam amal ibadah tersebut, dan melaksanakan sebab-sebab yang diperintahkan dengannya. Kemudian Allah SWT memberikan rizqi yang baik kepadanya dan memberi taufik kepadanya untuk menggunakannya dalam penyaluran yang baik.
v  Hikmah disyareatkannya jual beli:
Manakala uang, komoditi, dan harta benda tersebar di antara manusia seluruhnya, dan kebutuhan manusia bergantung dengan apa yang ada di tangan temannya, dan ia tidak memberikannya tanpa ada imbalan/pertukaran.
Dan dibolehkannya jual beli, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari untuk mencapai  tujuan hidupnya. Dan jika tidak demikian, niscaya manusia akan saling merampas, mencuri, melakukan tipu daya, dan saling membunuh.
Karena alasan inilah, Allah SWT menghalalkan jual beli untuk merealisasikan kemashlahatan dan memadamkan kejahatan tersebut. Jual beli itu hukumnya boleh dengan ijma' (konsensus) semua ulama. Firman Allah SWT:
﴿ ......... وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ ........ ﴾ [البقرة: ٢٧٥] 
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…"   (QS. Al-Baqarah: 275).

v  Syarat sah jual-beli:
  1. Sama-sama ridha baik penjual maupun pembeli, kecuali orang yang dipaksa dengan kebenaran.
  2. Bahwa boleh melakukan transaksi, yaitu dengan syarat keduanya orang yang merdeka, mukallaf, lagi cerdas.
  3.  Yang dijual adalah yang boleh diambil manfaatnya secara mutlak (absolut). Maka tidak boleh menjual yang tidak ada manfaatnya, seperti nyamuk dan jangkerik. Dan tidak boleh pula yang manfaatnya diharamkan seperti arak dan babi. Dan tidak boleh pula sesuatu yang mengandung manfaat yang tidak dibolehkan kecuali saat terpaksa, seperti anjing dan bangkai kecuali belalang dan ikan.
  4. Bahwa yang dijual adalah milik sang penjual, atau diijinkan baginya menjualnya saat transaksi.
  5. Bahwa yang dijual sudah diketahui bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi dengan melihat atau dengan sifat.
  6. Bahwa harganya sudah diketahui.
  7. Bahwa yang dijual itu sesuatu yang bisa diserahkan, maka tidak boleh menjual ikan yang ada di laut, atau burung yang ada di udara, dan semisal keduanya, karena adanya unsur penipuan. Dan syarat-syarat ini untuk menampik kedzaliman, penipuan, dan riba dari kedua belah pihak.
v  Terjadi transaksi jual beli dengan salah satu dari dua sifat:
  1. Ucapan: seperti penjual berkata, 'Aku menjual kepadamu.' Atau 'Aku memilikkannya kepadamu,' atau semisal keduanya. Dan pembeli berkata, 'Aku membeli' atau 'aku menerima' dan semisal keduanya yang sudah dikenal masyarakat secara umum.
  2. Perbuatan: yaitu pemberian, seperti ia (seseorang) berkata, 'Berikanlah kepadaku daging seharga sepuluh ribu rupiah', lalu ia memberikannya tanpa ucapan dan semisal yang demikian itu yang sudah berlaku umum, apabila terjadi saling senang (dengan transaksi itu).
v  Keutamaan toleransi (bermurah hati) dalam jual beli:
Seharusnya manusia bersifat toleransi lagi mudah, sehingga ia mendapat rahmat Allah SWT. Dari Jabir bin Abdullah r.a, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
رَحِمَ اللهُ  رَجُلاً سَمْحًا اِذَا بَاعَ وَاِذَا اشْتَرَى وَاِذَا اقْتَضَى.
"Semoga Allah SWT memberi rahmat kepada seseorang yang toleransi (bermurah hati), apabila menjual, membeli, dan apabila membayar." (HR. Bukhari). 1
v  Bahaya banyak bersumpah dalam jual beli:
Bersumpah dalam jual beli ada kalanya menjadikan laris komoditi (barang dagangan), akan tetapi menghapuskan keberkahan. Dan Nabi SAW telah melarang darinya dengan sabdanya:
اِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحِلْفِ فِى الْبَيْعِ فَاِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ يَمْحَقُ.
"Jauhilah banyak bersumpah dalam jual beli, sesungguhnya ia menjadikan laris, kemudian menghapus (keberkahan)." (HR. Muslim). 2
Kejujuran dalam jual beli merupakan penyebab keberkahan, dan bohong penyebab hilangnya berkah.
v  Gambaran-gambaran jual beli yang diharamkan:
Islam membolehkan segala sesuatu yang membawa kebaikan, berkah, dan manfaat yang dibolehkan, dan mengharamkan sebagian jual beli dan golongan, karena pada sebagiannya terdapat jahalah (ketidak-tahuan) dan penipuan, atau merusak pasar, atau menyesakkan dada, atau kepalsuan dan kebohongan, atau bahaya terhadap badan, akal dan semisalnya yang menyebabkan sifat dendam, pertikaian, pertengkaran, dan bahaya.
Maka diharamkan jual beli tersebut dan hukumnya tidak sah, di antaranya adalah:
  1. Jual beli mulamasah (sentuhan): seperti penjual berkata kepada pembeli, umpamanya: pakaian apapun yang kamu sentuh, maka ia untukmu dengan harga sepuluh. Ini adalah jual beli yang rusak karena adanya ketidak tahuan dan penipuan.
  2.  Jual beli munabadzah (lemparan): seperti pembeli berkata kepada penjual: pakaian manapun yang engkau lempar kepadaku, maka ia untukku dengan harga sekian. Ini adalah jual beli yang rusak (tidak sah), karena adanya ketidaktahuan dan penipuan.
  3. Jual beli hashah (lemparan batu): seperti penjual berkata, 'Lemparkanlah batu ini, maka benda apapun yang kejatuhan batu itu, maka ia untukmu dengan harga sekian. Ini termasuk jual beli yang rusak karena adanya ketidak tahuan dan penipuan.
  4.  Jual beli najsy: yaitu menaikan harga komoditi (yang dilakukan) oleh orang yang tidak ingin membelinya. Ini adalah jual beli yang diharamkan, karena mengandung godaan kepada para pembeli yang lain dan penipuan kepada mereka.
  5. Penjualan oleh orang kota kepada orang desa: yaitu simsar (perantara, broker), yang menjual komoditi lebih mahal daripada harga saat itu. Jual beli ini tidak sah, karena mengandung mudharat dan penekanan terhadap manusia, akan tetapi bila penduduk desa yang datang kepadanya dan meminta darinya agar menjual atau membeli untuknya maka tidak apa-apa.
  6. Menjual komoditi sebelum menerimanya hukumnya tidak boleh, karena membawa kepada permusuhan dan perbatalan secara khusus apabila ia (penjual) melihat bahwa yang membeli akan mendapat keuntungan padanya.
  7.  Jual beli 'inah: yaitu menjual suatu komoditi secara bertempo, kemudian ia (penjual) membelinya lagi darinya (pembeli) dengan harga yang lebih murah secara kontan. Maka tergabunglah di dalamnya dua jual beli dalam satu transaksi. Jual beli ini haram dan batil, karena ia adalah sarana menuju riba. Jika ia membelinya setelah menerima harganya, atau setelah berubah sifatnya, atau dari selain pembelinya, hukumnya boleh.
  8. Penjualan seseorang atas penjualan saudaranya: seperti seseorang membeli suatu komoditi dengan harga sepuluh, dan sebelum selesai pembelian, datanglah orang lain seraya berkata, 'Aku menjual kepadamu barang yang sama dengan harga sembilan atau lebih murah dari harga yang engkau beli darinya,' dan sama juga pembelian, seperti seseorang berkata kepada orang yang menjual suatu komoditi dengan harga sepuluh (10), 'Aku membelinya darimu dengan harga lima belas (15),' agar orang pertama pergi dan menyerahkannya untuknya. Jual beli ini haram, karena mengandung mudharat kepada kaum muslimin dan mengobarkan kemarahan kepada yang lain.
  9. Jual beli setelah panggilan (azan)yang kedua pada shalat Jum'at, hukumnya haram dan tidak sah, demikian pula semua transaksi.
  10. Setiap yang haram, seperti arak, babi, patung, atau sarana kepada yang haram, seperti alat-alat musik, maka menjual dan membelinya hukumnya haram.
v  Dan termasuk jual beli yang diharamkan: jual beli hablul-habalah, jual beli malaqiih, yaitu sesuatu yang ada di perut induknya (ibunya), jual beli madhamiin, yaitu sesuatu yang ada di sulbi yang jantan, dhirab unta dan 'asab pejantan.
Dan diharamkan jual beli anjing, kucing, uang hasil pelacuran, hadiah untuk dukun, jual beli yang tidak diketahui, jual beli yang mengandung penipuan, jual beli yang tidak mampu menyerahkannya seperti burung yang terbang di udara, jual beli buah sebelum nyata baiknya, dan semisal yang demikian itu.
Apabila membeli secara bersama-sama (komunal) di antara dia dan orang lain, niscaya sah pada bagiannya, dan bagi pembeli boleh memilih jika ia tidak mengetahui keadaan.
v  Hukum jual beli yang mengandung penipuan dan judi:
Penipuan dan judi termasuk transaksi berbahaya serta menghancurkan sendi-sendi perekonomian, penyebab kebangkrutan perusahan besar, menyebabkan kayanya suatu kaum tanpa bersusah payah, dan kefakiran yang lain dengan cara yang batil. Maka ia adalah perbuatan haram, permusuhan, dan kebencian. Semua ini termasuk pekerjaan syetan. Firman Allah SWT:
﴿ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةَ وَٱلۡبَغۡضَآءَ فِي ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِ وَيَصُدَّكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِۖ فَهَلۡ أَنتُم مُّنتَهُونَ ٩١ ﴾ [المائ‍دة: ٩١] 
"Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu pada minuman keras dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)."    (QS. Al-Ma`idah: 91).

v  Jual beli gharar (penipuan) menyeret kepada dua kerusakan besar:
  1. Memakan harta manusia dengan cara batil, salah satunya boleh jadi berhutang tanpa keuntungan, atau beruntung tanpa berhutang, karena ia adalah gadaian dan judi.
  2. Permusuhan dan kebencian di antara dua pihak yang bertransaksi, akan menimbulkan dendam dan pertengkaran.

Referensi :
1.       HR. Bukhari No. 2076.
2.      HR. Muslim No. 1607

Sumber : Islam House
Oleh : Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri
Diterjemahkan : Team Indonesia islamhouse.com
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad & Mohammad Latif. Lc






Monday 17 September 2012

Mengapa Wanita Dilarang Menjadi Pemimpin...?


Kalau ada istilah imam, tentunya kosakata ini hanya ada dalam terminologi Islam saja, jadi maksudnya: bolehkah dalam pandangan hukum Islam berimam kepada wanita? Pengertiannya disini dalam konteks yang sangat luas tentunya. Paham dan pandangan seperti ini perlu kita diskusikan kembali, karena bagaimana pun, Indonesia rakytanya berpenduduk mayoritas muslim.
Dus, pemilih yang terlibat dalam pemilu pun mayoritas muslim yang harus mengetahui dasar-dasar pemilihan seorang imam/pemimpin, karena tak ada sebuah perbuatan pun yang tidak akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak di hadapan Allah swt.

MENGANGKAT SEORANG WANITA SEBAGAI SEBAGAI IMAM

Sepakat para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya "al-Jaami li ahkami al-Quran" mengatakan, Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara). Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita menjadi kepala negara.

Pertama, terdapat hadist shahih yang melarang wanita sebagai kepala negara. "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita (HR. Bukhari)". Lafadz "wallau amrahum" dalam hadist ini berarti mengangkat sebagai "waliyul amri" (pemegang tampuk pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadist ini memang merupakan komentar Rasulullah SAW tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan putri Kisra, Raja Persia.
Sekalipun teks hadist tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan dalam hadist ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan 'qarinah' (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat 'jazm' (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara PASTI hukumnya HARAM.
Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadist ini. Mereka menunjuk salah seorang perawi hadist ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khatab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang perawi (orang yang meriwayatkan) hadist seperti 'Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-Rijal, Thabaqat Ibnu Saad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir' menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh karena itu, dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadist tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.
Disamping itu, ada juga yang menganggap bahwa larangan mengangkat wanita sebagai kepala
negara tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh karena, katanya, jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam, atau presiden bukanlah 'al-imamu al-adzam' sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam. Pendapat seperti ini  sangatlah lemah. Mengapa? Karena teks hadist di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Buran, putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam kasus Buran, Rasulullah mengharamkan, apa bedanya dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama bukan sistem pemerintahan Islam?

Kedua, di dalam al-Quran terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara. 'Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tetntang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), An-Nisa 59' Dalam ayat ini, perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz "ulil amri". Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab, bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan kata "uulatul umri".

Ketiga, didalam al-Quran terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita, (An-Nisa 34)". Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri "min baabi al-aula" (keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada laki-laki.

Keempat, dalam sejarah pemerintahan Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan wanita. Memang di Mesir pernah berkuasa seorang ratu bernama Syajaratuddur dari dinansti Mamalik. Tapi kekuasaan yang diperolehnya itu sekadar limpahan dari Malikus Shalih, penguasa ketika itu yang meninggal. Setelah tiga bulan berkuasa (jadi sifatnya sangat sementara dan relatif tidak diduga) akhirnya kekuasaan dipegang oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelas sekali tidak ada preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepala negara.

Kelima, kenyataan adanya presiden-presiden wanita di sejumlah negeri muslim (Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh) tidaklah cukup untuk menggugurkan larangan wanita menjabat kepala negara. Kenyataan di atas harus dipandang sebagai penyimpangan. Dan sebuah kenyataan bukanlah hukum, apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum itu sendiri. Sama seperti hukum shalat. Bila terlihat kenyataan cukup banyak di negeri ini orang tidak shalat, apakah lantas hukum shalat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib? Terhadap kenyataan yang menyalahi hukum Allah otomatis ia tidak bisa dijadikan pedoman bagi pembuatan dasar sebuah hukum atau pembenaran suatu tindakan bersangkutan. (Milist Sabili)



Saturday 1 September 2012

KEWAJIBAN MELAKSANAKAN SHALAT BERJAMAAH


Banyak orang yang meremehkan shalat berjamaah. Yang dijadikan alasan mereka adalah sikap tak acuh sebagian ulama terhadap masalah ini. Oleh karenanya, dalam tulisan ini saya merasa berkewajiban menjelaskannya karena sebenarnya masalah ini teramat penting.
Setiap muslim tidak dibenarkan meremehkan masalah yang dianggap penting oleh Allah Y (dalam Kitab suciNya) dan RasulNya.
Allah Y telah banyak menyebut kata  “shalat” dalam Al Qur’anul Karim. Ini menandakan begitu penting perkara ini. Allah Y telah memerintahkan kita untuk memelihara dan melaksanakan shalat dengan berjamaah.
Allah Y juga mengatakan bahwa meremehkan dan malas mengerjakan shalat berjamaah termasuk sifat orang munafik.dalam salah satu firmanNya:

] حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين [
Artinya : “ Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah(dalam shalatmu) dengan khusyu’.” ( Al Baqarah : 238)
Bagaimana seorang muslim dapat dikatakan orang yang memelihara dan mengagungkan shalat, bila ia tidak melakukan ( bahkan meremehkan) shalat berjamaah bersama rekan-rekannya.
Allah Y berfirman:

] وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين [
Artinya : “ Dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’( Al Baqarah : 43)
Ayat yang mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah. Pada awal ayat tersebut Allah Y sudah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat, ini berarti kita diperintahkan Allah untuk memelihara shalat berjamaah, bukan sekedar mengerjakan saja.
  
Dalam surat An Nisaa’, Allah berfirman yang artinya :
“ Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka( shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri ( shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka ( yang shalat besertamu ) sujud ( telah menyempurnakan serakaat ), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu ( untuk menghadapi musuh ) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat , lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata …” ( An Nisaa’ : 102)
Pada ayat di atas Allah Y mewajibkan kaum muslimin untuk mengerjakan shalat berjamaah dalam keadaan perang. Bagaimana bila dalam keadaan damai?!
Jika seorang muslim diperbolehkan meninggalkan shalat berjamaah ( oleh Allah ), tentu kaum muslimin lain yang tengah berbaris menghadapi serangan musuh dan yang paling terancam dibolehkan meninggalkan shalat berjamaah. Tetapi di dalam ayat di atas perintah Allah tidaklah demikian. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa shalat berjamaah merupakan kewajiban utama. Oleh karenanya tidak dibenarkan seorang muslim meninggalkan kewajiban tersebut.
Abu Hurairah t meriwayatkan bahwa Nabi r telah bersabda :

" لقد هممت أن آمر بالصلاة, فتقام ثم آمر رجلا أن يصلي بالناس، ثم أنطلق برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة، فأحرق عليهم بيوتهم "
Artinya : “ Aku berniat memerintahkan kaum muslimin untuk mendirikan shalat. Maka aku perintahkan seseorang untuk menjadi imam dan shalat bersama manusia. Kemudian aku berangkat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka.(HR. Bukhari Muslim)

Abdullah bin Mas’ud Ra berkata : “ Engkau telah melihat kami, tidaklah seseorang yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali ia seorang munafik yang diketahui nifaknya, atau seseorang yang sakit, bahkan seorang yang sakitpun berjalan ( dengan dipapah ) antara dua orang untuk mendatangi shalat ( shalat berjamaah di masjid ).” Abdullah bin Mas’ud lalu menegaskan, “ Rasulullah mengajarkan kita jalan-jalan hidayah, dan salah satu jalan hidayah itu adalah shalat di masjid ( shalat yang dikerjakan di masjid ).”( shahih muslim)

Abdullah bin Mas’ud Ra berkata : “ Barang siapa ingin bertemu Allah di hari akhir nanti dalam keadaan muslim, maka hendaklah memelihara semua shalat yang diserukanNya. Allah telah menetapkan kepada Nabi kalian jalan-jalan hidayah dan shalat itu termasuk jalan hidayah. Kalau kalian shalat di rumah berarti kalian telah meninggalkan jalan nabi kalian. Jika kalian meninggalkan jalan nabi kalian, maka pasti kalian akan sesat. Seorang lelaki yang bersuci dengan baik, kemudian menuju ke masjid, maka Allah Y menulis setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajad, dan menghapus satu kejahatannya. Engkau telah melihat di kalangan kami, tidak pernah ada yang meninggalkan shalat ( berjamaah ). kecuali orang munafik yang sudah nyata dan jelas nifaknya. Perlu diketahui pernah ada seorang lelaki hadir dengan dituntun antara dua orang untuk didirikan di shaf.”
Dari Abu Hurairah Ra dikisahkan bahwa pernah ada seorang lelaki buta bertanya kepada Rasulullah r, “ Wahai Rasul Allah, aku tidak punya penuntun yang menggandengku ke masjid. Apakah aku mendapatkan kemurahan( dispensasi ) untuk shalat di rumah saja?” Rasulullah bertanya kepadanya : “ Apakah kamu mendengarkan adzan (seruan ) untuk shalat?” “ ya” jawab lelaki buta itu. Rasulullah lalu berkata dengan tegas, “ kalau begitu datangilah masjid untuk shalat berjamaah !”
Hadits yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan kewajiban melaksanakannya di rumah Allah sangat banyak.oleh karena itu setiap muslim wajib memperhatikan dan bersegera melaksanakannya. Juga wajib untuk memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya, keluarga, tetangga, dan seluruh teman-teman seaqidah agar mereka mengerjakan perintah Allah r dan perintah Rasul Nya agar mereka takut terhadap larangan Allah Y dan Rasul-Nya, dan agar mereka menjauhkan diri dari sifat-sifat orang munafik yang tercela, di antaranya sifat malas mengerjakan shalat. Allah Y telah berfirman yang artinya :

“ sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah , dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud untuk riya’( dengan shalat ) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali . mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian ( iman atau kafir ). Tidak masuk dalam galongan ini ( orang-orang yang beriman ) dan tidak ( pula ) kepada golongan itu ( orang-orang kafir ). Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan ( untuk memberi petunjuk) baginya.” ( An Nisaa’ : 142-143)
meninggalkan shalat berjamaah merupakan salah satu penyebab untuk meninggalkan shalat sama sekali. Dan perlu diketahui bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran dan keluar dari Islam. Ini berdasarkan sabda Nabi r :

" بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة "
Artinya : “ batas antara seseorang dengan kekafiran dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim)

Rasulullah r bersabda :

قال رسول الله r : العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر.
Artinya : “ janji yang membatasi antara kita dan orang-orang kafir adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya maka ia kafir.”

Setiap muslim wajib memelihara shalat pada waktunya, mengerjakan shalat sesuai dengan yang disyariatkan Allah, dan mengerjakannya secara berjamaah di rumah-rumah Allah. Seorang muslim wajib taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut akan murka dan siksa-Nya.
Apabila kebenaran telah tampak dan dalil-dalilnyapun jelas, maka siapapun tidak dibenarkan menyeleweng serta mengingkari dengan alasan menurut perkataan si fulan ini atau si fulan itu, karena Allah Y telah berfirman :

] فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر, ذلك خير وأحسن تأويلا [
Artinya : “ jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( sunnahnya ), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih  utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( An Nisaa’: 59)
“ … maka hendaklah orang-orang yang menyalahi kehendaknya (Rasul ) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An- Nuur : 63)
tidak diragukan lagi,shalat berjamaah mempunyai beberapa hikmah serta kemaslahatan. Hikmah yang paling tampak adalah akan timbul di antara sesama muslim saling mengenal dan saling membantu untuk kebaikan, ketaqwaan, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran.
Hikmah lainnya adalah untuk memberi dorongan kepada orang yang meninggalkannya, dan memberi pengajaran kepada orang yang tidak tahu. Juga untuk menumbuhkan rasa tidak suka / membenci kemunafikan, untuk memperlihatkan syiar-syiar Allah di tengah-tengah hamba-hamba-Nya, dan sebagai dakwah lewat kata-kata serta perbuatan.
Semoga Allah Y melimpahkan taufiq-Nya kepada saya dan anda sekalian untuk mencapai ridha-nya serta perbaikan masalah dunia dan akhirat. Kami juga memohon perlindungan dari kejahatan-kejahatan diri serta amalan-amalan kami dan dari sifat-sifat yang menyerupai orang-orang kafir dan munafik. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

PENULIS
SYEIKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ
Dan
MUHAMMAD BIN SHALIH AL-‘UTSAIMIN

PENERJEMAH
ALI MAKHTUM ASSALAMY

 EDITOR
MUHAMMADUN ABD HAMID ABD WAHAB
MUH.MU’INUDINILLAH BASRI