Keep Share what i can find for you all netizen

Advertisement

Saturday 30 June 2012

Pandangan al-Qur’an terkait dengan perilaku damai kaum Muslimin terhadap para pengikut agama lainnya


Hidup berdampingan secara damai di antara pemeluk agama merupakan satu pemikiran orisinil Islam. Banyak ayat al-Qur’an, dalam ragam bentuk, dengan lugas menganjurkan kepada kaum Muslimin untuk memperhatikan masalah penting ini. Dalam pandangan al-Qur’an, perang agama dan pertikaian lantaran perbedaan-perbedaan keyakinan yang dapat disaksikan pada sebagian agama – seperti perang Salib kaum Kristian, tidak dibenarkan. Memendam dendam dan permusuhan kepada para pengikut agama dilarang demikian juga menggunakan metode-metode yang menghina agama lainnya juga tidak dibenarkan dalam Islam.
Al-Qur’an menganjurkan beberapa jalan untuk menyediakan ruang hidup damai secara berdampingan dengan pemeluk agama lain, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan ruang kebebasan untuk berkeyakinan dan berpikir
2. Memberikan perhatian terhadap prinsip-prinsip bersama
3. Menafikan rasialisme
4. Dialog seara damai
5. Menyambut tawaran damai
6. Menerima hak-hak kaum minoritas
7. Menerima secara resmi para nabi dan kitab-kitab samawi
8. Mendorong perdamaian internasional
9. Memerangi segala ilusi superior atas agama lain
10. Korporasi dan kerjasama dalam masalah-masalah internasional
Hidup berdampingan secara damai di antara pemeluk agama merupakan satu pemikiran orisinil Islam. Banyak ayat al-Qur’an, dalam ragam bentuk, dengan lugas menganjurkan kepada kaum Muslimin untuk memperhatikan masalah penting ini. Sementara pada empat belas abad sebelumnya, konsep koeksitensi (co-existence) di antara agama dan pemeluk agama sama sekali belum dikenal oleh umat manusia.
Dalam pandangan al-Qur’an, perang agama dan pertikaian lantaran perbedaan-perbedaan keyakinan yang dapat disaksikan pada sebagian agama – seperti perang Salib kaum Kristian, tidak dibenarkan. Memendam dendam dan permusuhan kepada para pengikut agama dilarang demikian juga menggunakan metode-metode yang menghina agama lainnya juga tidak dibenarkan dalam Islam.
Al-Qur’an menyebutkan sekelompok orang dari Kristen dan Yahudi yang saling mencemooh satu dengan yang lain, saling menghina, menginjak-injak hak-hak manusia, senantiasa menyulut api peperangan dan pertikaian di antara sesama mereka, “Dan orang-orang Yahudi berkata, “Orang-orang Nasrani itu tidak memiliki suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani juga berkata, “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai suatu pegangan”, padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:113)
Al-Qur’an menganjurkan beberapa jalan untuk menyediakan ruang hidup damai secara berdampingan dengan pemeluk agama lain, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan ruang kebebasan untuk berkeyakinan dan berpikir
Pada sebagian ayat al-Qur’an dijelaskan prinsip kebebasan berakidah. Artinya secara asasi mengikuti keyakinan-keyakinan hati dan masalah-masalah nurani hanya bermakna tatkala tidak terdapat desakan dan paksaan di dalamnya. “Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. “ (Qs. Al-Baqarah [2]:256) “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang di muka bumi ini beriman. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya seluruh mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Qs. Yunus [10]:99) “Dan katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (Qs. Al-Kahf [18]:29) “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan-(Nya). “(Qs. Al-An’am [6]:107)
Iman kepada Tuhan dan prinsip-prinsip Islam sekali tidak dapat dipaksakan, melainkan hanya dapat dilakukan dengan logika dan penalaran. Pikiran dan ruh hanya dapat dimasuki dengan logika dan penalaran. Penting kiranya hakikat-hakikat dan perintah-perintah Ilahi dijelaskan sehingga orang-orang memahami dan menerimanya dengan kehendak dan ikhtiar yang mereka miliki.
Dimensi lain kebebasan adalah kebebasan berpikir dan beride. Pada kebanyakan ayat al-Qur'an manusia diseru untuk berpikir, berinteleksi dan berkontemplasi di alam semesta. Manusia dituntut dengan energi akalnya, untuk mengenal segala yang menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Ia diminta untuk bebas dari segala pasungan, tawanan, kesesatan dan penyimpangan, sehingga ia dengan mudah melenggang melaju ke depan untuk meraup kesempurnaan. "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Qs. Fusshilat [41]:53)  "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (Qs. Al-Dzariyat [51]:20-21).[1]
2.  Memberikan perhatian terhadap prinsip-prinsip bersama
Islam adalah sebuah ajaran yang semenjak kemunculannya telah mempresentasikan slogan koeksistensi kepada seluruh penduduk dunia. Ajaran ini menyeru kepada Ahlulkitab, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, marilah (berpegang teguh) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Qs. Ali Imran [3]:64)
Ayat ini merupakan salah satu ayat penting yang menyeru Ahlulkitab kepada persatuan. Argumentasi ayat mulia ini berbeda dengan model argumentasi ayat-ayat sebelumnya. Ayat-ayat sebelumnya, secara langsung menyeru kepada Islam, namun ayat ini menaruh perhatian pada poin-poin common antara Islam dan Ahlulkitab.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kaum Muslimin bahwa apabila orang-orang tidak bersedia untuk bekerja sama denganmu untuk mencapai tujuan-tujuan sucimu, janganlah berlipat tangan dan berusahalah minimal pada tujuan-tujuan common, kalian dapat bekerja sama dengan mereka dan menjadikannya sebagai asas untuk merealisasikan tujuan-tujuan mulia kalian.[2]
3. Menafikan rasialisme
Al-Qur’an, mencela segala jenis pemikiran rasialisme dan memandang bahwa seluruh manusia adalah anak dari satu ibu dan ayah dan tentu saja hampa keunggulan ras, kaum dan agama.
Al-Qur’an dalam pesan universalnya menolak rasialisme, berseru, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Al-Hujurat [49]:13)
Salah satu prinsip penting koeksistensi secara damai adalah persamaan dan kesetaraan umat manusia. Karena rasialisme adalah ajaran yang memandang dirinya lebih superior dan mendorong penganutnya untuk menghina bangsa-bangsa lainnya yang akan menyebabkan munculnya pelbagai problematika bagi umat manusia. Perang Dunia Pertama dan Kedua merupakan contoh nyata dari pelbagai problematika ini.
Perbedaan warna kulit, ras, bangsa tidak akan menyebabkan keutamaan seseorang atas orang lainnya. Dalam pandangan al-Qur’an, perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan salah satu ayat-ayat dam tanda-tanda kebesaran Tuhan. Perbedaan ini merupakan media untuk mengenal satu dengan yang lainnya. Apabila seluruh manusia satu bentuk, satu warna dan memiliki satu corak, tinggi dan berat maka kehidupan manusia ini akan berujung pada chaos dan anarki.
Menurut al-Qur’an, manusia tidak memiliki keutamaan dan kemuliaan atas manusia lainnya kecuali dengan ketakwaan dan penghambaan kepada Tuhan. Seluruh manusia adalah entitas yang membentuk “keluarga manusia” dan “umat yang satu”, “Sebelumnya, manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan akibat meluasnya kehidupan sosial), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan kitab (samawi) bersama mereka dengan benar untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah [2]:213)
Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an menyeru manusia dengan seruan seluruh manusia, seperti “Ya Bani Adam”[3] atau “Ya ayyuha al-insan”[4] Seruan-seruan dan ekspresi-ekspresi ini menandaskan bahwa kemanusiaan merupakan satu makna common di antara para penghuni jagad raya. Orang-orang dari pelbagai daerah tidak memiliki perbedaan dengan yang lainnya dari sisi kemanusiaan. Manusia sepanjang perjalanan sejarah dari sisi bahasa, warna kulit, ras, bangsa dan sebagainya adalah berbeda satu dengan yang lainnya. Namun dalam perspektif Islam, seluruh umat manusia merupakan putra-putri satu ayah dan ibu (Adam dan Hawa) dan segala perbedaan yang ada tidak akan menciderai kemanusiaan manusia ini.[5]
4. Dialog seara damai
Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengedepankan “jidal ahsan” dan “berdialog secara damai” dengan Ahlulkitab dan hubungannya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip bersama.
Al-Qur’an menyatakan, “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan-mu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya-lah berserah diri.” (Qs. Al-Ankabut [29]:46)
Pada ayat-ayat sebelumnya yang mengemuka adalah model konfrontasi dengan para penyembah berhala yang keras kepala dan jahil, yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang ada, namun pada ayat ini yang mengedepan adalah mujâdalah dan dialog dengan cara lebih lembut dengan Ahlulkitab. Karena mereka paling tidak, telah mendengar sebagian dari instruksi-instruksi para nabi dan kitab-kitab samawi dan lebih memiliki persiapan untuk mendengarkan ayat-ayat Ilahi.
Al-Qur’an menitahkan kepada kaum Muslimin untuk tidak mencela orang-orang kafir dan para penyembah berhala; karena sebagai tandingannya mereka juga akan menggunakan cara yang sama, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami hiasi bagi setiap umat pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am [6]:108)
Mengingat penjelasan instruksi-instruksi Islam disertai dengan logika, argumentasi dan model-model damai, al-Qur’an menganjurkan dengan sangat kepada sebagian orang beriman, berdasarkan keprihatinan yang mendalam terhadap masalah penyembahan berhala sehingga melontarkan makian kepada para penyembah berhala, untuk tidak menghindari ucapan-ucapan tidak senonoh kepada mereka.  Islam memandang perlu ditunaikannya prinsip-prinsip adab, kehormatan dan sopan santun dalam menjelaskan ajaran-ajarannya, bahkan di hadapan agama yang paling buruk dan khurafat sekali pun. Karena setiap kelompok dan bangsa, bersikap puritan dan fanatik terhadap keyakinan dan amalan-amalannya. Berkata-kata tidak senonoh dan bersikap kasar akan membuat mereka semakin keras membela keyakinan mereka.
5. Menyambut tawaran damai
“...Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepadamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangimu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” (Qs. Al-Nisa [4]:90)
Terdapat  dua kabilah di antara kabilah-kabilah Arab bernama “Bani Dhamrah” dan “Asyja’”; Kabilah Bani Dhamrah menandatangani perjanjian damai dengan kaum Muslimin dan kaum Asyja’ juga merupakan mitra Bani Dhamrah.
Setelah beberapa lama kaum Muslimin menerima kabar bahwa kaum Asyja’ berjumlah tujuh ratus orang mendatangi batalyon Mas’ud bin Rujailah dekat Madinah. Rasulullah Saw mengutus beberapa orang wakil kepada mereka untuk mencari tahu tujuan mereka di tempat itu. Mereka menyatakan, “Kami datang untuk mengikat perjanjian damai dengan Muhammad Saw. Tatkala Rasulullah Saw mengetahui hal ini, beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk mengantarkan banyak kurma sebagai hadiah kepada mereka. Kemudian menghubungi mereka dan mereka menyatakan bahwa kami tidak memiliki kemampuan untuk berperang melawan musuh-musuh Anda karena jumlah kami sedikit; dan juga tidak memiliki kekuatan dan keinginan untuk berperang melawan Anda karena daerah kami berdekatan dengan daerah Anda; karena itu kami datang untuk menandatangani perjanjian damai. Pada waktu itu, ayat yang disebutkan di atas turun dan memberikan instruksi penting kepada kaum Muslimin dalam masalah ini.[6]
6. Menerima hak-hak kaum minoritas
Tiada satu pun agama sebagaimana agama Islam yang memberikan jaminan kebebasan dan menjaga kemuliaan dan hak-hak kaum minoritas. Islam menyediakan keadilan sosial secara sempurna di negeri Islam, bukan hanya untuk kaum Muslimin, melainkan bagi seluruh warga negerinya, meski dengan adanya perbedaan agama, mazhab, ras, bahasa dan warna kulit. Hal ini merupakan salah satu keunggulan besar alam kemanusiaan yang tidak dimiliki satu agama dan aturan mana pun di dunia selain Islam.
Kaum minoritas mazhab dengan menandatangani perjanjian dzimmah (perlindungan) dan memperoleh kewarganegaraan dapat hidup secara bebas di negeri Islam dan sebagaimana kaum Muslimin memperoleh hak-hak sosial dan keamanan dalam dan luar negeri. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan kebijaksanaan umum Islam tentang penjagaan hak-hak bangsa-bangsa dan agama-agama asing lainnya demikian, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al-Mumtahanah [60]:8)
Karena itu, Islam memberikan izin kepada kaum minoritas dan yang tidak menerima Islam untuk hidup dalam masyarakat Islam dan memperoleh hak-hak kemanusiaannya; dengan syarat mereka tidak menimbulkan gangguan bagi Islam dan kaum Muslimin. Demikian juga tidak melakukan penentangan terhadapnya.
Pada ayat lainnya, al-Qur’an menyatakan, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama, mengusirmu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Mumtahanah [60]:9)
Dengan memperhatikan dua ayat ini, kebijakan umum Islam terkait dengan kaum minoritas dan orang-orang yang tidak menerima Islam adalah sebagai berikut bahwa sepanjang kaum minoritas tidak melanggar hak-hak kaum Muslimin dan tidak melakukan konspirasi melawan Islam dan kaum Muslimin, maka mereka dapat hidup secara bebas di negeri Islam dan kaum Muslimin memiliki tugas untuk bersikap adil dan berlaku baik terhadap mereka; namun apabila mereka melakukan kerjasama untuk merongrong Islam dan kaum Muslimin, melakukan konspirasi dengan pihak musuh untuk memerangi Islam dan kaum Muslimin maka kaum Muslimin bertugas untuk menghalangi aktifitas mereka dan tidak menjadikan mereka sebagai kawan.
Dalam Islam, kebebasan dan penghormatan kepada kaum minoritas sedemikian toleran sehingga apabila seseorang dari “ahlu dzimmah’ melakukan sebuah perbuatan yang dipandang boleh dalam agama mereka namun dipandang haram dalam Islam – seperti meminum khamar – maka tiada seorang pun yang dapat menghalanginya; tentu saja sepanjang perbuatan itu tidak dinampakkan secara lahir di hadapan khalayak. Apabila ia melakukannya secara lahir di hadapan khalayak maka ia akan dituntut karena melakukan pelanggaran “qânun tahta al-himâyah” dan apabila ia ingin melakukan sebuah pekerjaan yang dalam agama mereka juga dipandang haram seperti zina, sodomi dan sebagainya  maka dari sisi hukum, mereka tidak ada bedanya dengan kaum Muslimin, akan dikenakan pidana (had).  Meski mereka dapat dikembalikan kepada kaumnya untuk ditindak berdasarkan aturan-aturan agama mereka sendiri.[7]
Sesuai dengan hukum jurisprudensi Islam (fikih) apabila dua orang ahli dzimmah ingin menyelesaikan perkara di antara mereka di hadapan seorang hakim Muslim maka hakim tersebut boleh memilih (mukhayyar) untuk mengadili mereka berdasarkan hukum Islam  atau mengabaikan mereka. Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Jika mereka (orang-orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikit pun.“ (Qs. Al-Maidah [5]:42)  Akan tetapi hal itu tidak bermaksud bawha Rasulullah Saw dapat menurutkan keinginan pribadinya dalam memilih dua hal ini, melainkan bahwa kondisi dan situasi harus menjadi bahan pertimbangan. Apabila mendatangkan kemaslahatan maka beliau boleh intervensi dan memberikan hukuman. Kalau tidak beliau boleh mengabaikannya.[8]
Dalam hal ini, salah satu kemaslahatan menjaga interaksi dan hubungan dengan Ahlulkitab dan kaum Muslimin. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa koeksistensi kaum Muslimin dan Ahlulkitab sedemikian tinggi sehingga mereka datang ke hadapan Rasulullah Saw untuk diputuskan dan diadili perkara yang mereka hadapi. Keadilan senantiasa merupakan sebuah nilai universal. Kapan pun, dimanapun dan dengan siapa pun. Apabila penguasa atau pemeritahan Islam telah dipilih untuk menjadi mediator, hakim dan juri maka ia harus mematuhi keadilan dan masalah-masalah ras, kaum, kabilah, fanatisme kelompok, kecendrungan-kecendrungan pribadi, intimidasi tidak boleh memberikan pengaruh dalam proses peradilan.
7. Menerima secara resmi para nabi dan kitab-kitab samawi
Pada dasarnya seluruh kitab samawi senada dalam masalah-masalah prinsip (ushul) antara satu dengan yang lain dan menuju pada tujuan yang satu (menggembleng dan menyempurnakan manusia). Meski pada masalah-masalah cabang, sesuai dengan tuntutan aturan kesempurnaan gradual masing-masing berbeda satu sama lain. Setiap ajaran baru telah melintasi tingkatan yang lebih tinggi dan lebih memiliki program yang lebih aplikatif dan menyeluruh. Sembari memberikan penghormatan terhadap para nabi dan kitab-kitab samawi sebelumnya, al-Qur’an juga membenarkannya, “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, sedang kitab ini membenarkan dan menjaga kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Maka putuskanlah perkara mereka menurut ketentuan yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja).” (Qs. Al-Maidah [5]:48)
Kurang-lebih terdapat dua puluh ayat lainnya yang membenarkan dan menyokong Taurat dan Injil.[9] Pada dasarnya, sunnah Ilahi ini, bahwa setiap nabi membenarkan dan menyokong nabi sebelumnya, dan membenarkan setiap kitab samawi sebelumnya. Allah Swt dalam menyokong Musa dan Taurat, melalui nabi dan kitab samawi selanjutnya, yaitu Nabi Isa dan Injil menyatakan, “Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Isra’il) dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya, dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat, menjadi petunjuk, dan nasihat untuk orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Maidah [5]:46)
8. Mendorong perdamaian internasional
Islam semenjak permulaan telah mencanangkan prinsip-prinsip perdamaian dan melalui jalan tersebut, Islam telah memuluskan perdamaian internasional dan koeksistensi secara damai di antara pemeluk agama-agama dunia.
Dalam masalah ini cukup bagi kita mengetahui bahwa perdamaian (shulh) adalah ruh agama Islam. Sebagaimana yang telah disebutkan redaksi Islam derivasinya dari kata sa-la-m dan atas dasar itu mengandung makna keselamatan dan ketenangan; karena itu al-Qur’an menitahkan seluruhnya untuk memasuki wilayah “salam dan perdamaian”
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam wilayah keselamatan secara keseluruhan (baca: sempurna).” (Qs. Al-Baqarah [2]:208)
Sa-la-m lebih tinggi kedudukannya dan lebih lestari ketimbang perdamaian (shu-lh). Karena sa-la-m bermakna keselamatan dan keamanan serta tidak memiliki satu bentuk perdamaian yang bersifat temporal secara lahir.
Allah Swt menitahkan Rasulullah Saw bahwa apabila para musuhmu memasuki wilayah perdamaian dan condong kepadanya, maka engkau juga (Muhammad) memanfaatkan kesempatan itu dengan baik  dan bersepakatlah dengan mereka, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (Qs. Al-Anfal [8]:61)
Kecintaan Islam terhadap perdamaian yang terjalin di antara manusia sedemikian mendalam sehingga memberikan berita gembira kepada orang-orang beriman bahwa boleh jadi berdasarkan perilaku damai kaum Muslimin, antara mereka dan para musuh akan menjalin hubungan persahabatan, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kamu dan orang-orang yang kamu musuhi di antara musyrikin (melalui jalan Islam). Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Mumtahanah [60]:70)
Kelompok non-Muslim terbagi menjadi dua: Kelompok yang berdiri berhadap-hadapan dengan kaum Muslimin, menghunus pedang di hadapan mereka, mengeluarkan kaum Muslimin dari rumah dan tempat kelahiran mereka secara paksa.  Dan singkatnya, permusuhan dan kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin dinampakkan secara terang-terangan dalam ucapan dan perbuatan.
Taklif dan tugas kaum Muslimin dalam menghadapi kelompok ini adalah menghindar untuk menjalin apa pun bentuk hubungan. Contoh nyata dari persoalan ini adalah kaum musyrikin Mekkah, utamanya para pemimpin Quraisy; kelompok yang secara resmi menampakkan kebencian dan permusuhan dengan Islam dan kaum Muslimin. Kelompok lainnya juga menolong mereka dalam hal ini.
Adapun kelompok kedua, meski mereka kafir dan musyrik, mereka tidak ada urusannya dengan kaum Muslimin. Kelompok ini tidak menampakkan kebencian juga tidak memerangi kaum Muslimin. Juga tidak melakukan tindakan pengusiran kaum Muslimin dari rumah dan kampung halaman mereka; bahkan sekelompok dari mereka mengikat perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Karena itu, kaum Muslimin harus bersikap loyal dengan mereka dan berusaha berlaku adil terhadap mereka. Contoh nyata dari kelompok ini adalah kaum Khuzai yang menandatangani perjanjian damai dengan kaum Muslimin.[10]
Singkatnya, sokongan terhadap perdamaian dan koekistensi secara damai dalam politik luar negeri merupakan program yang paling rasional dan paling dinamis dan Islam juga telah mencanangkan program seperti ini dan tetap mempersiapkan kekuatan untuk melakukan tindakan pembelaan (defence) pada kondisi-kondisi darurat.
Sedemikian pentingngnya perdamaian dan koeksistensi secara damai dalam Islam sehingga bahkan pada perhimpunan-perhimpunan kecil dan dalam mengatasi perbedaan-perbedaan keluarga juga menitahkan untuk berdamai dan bertoleran. “wa al-shulh khair.”
9. Memerangi segala ilusi superior atas agama lain
Sebagian ayat al-Qur’an berceritera tentang peperangan terhadap keyakinan-keyakinan ekstrem dan fanatisme agama-agama lain. Keyakinan keliru yang menjadi sumber segala kebencian dan permusuhan terhadap pengikut agama-agama lainnya.
Kitab samawi kita (al-Qur’an) setelah menyeru kepada umatnya untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan bersikap toleran dengan pengikut agama lainnya juga mengikis habis akar ilusi dan pikiran-pikiran keliru agama-agama lainnya terkait dengan keunggulanya atas agama lain.
Orang-orang Yahudi dan Kristen meyakini bahwa mereka adalah bangsa pilihan Tuhan; hanya merekalah yang menjalin hubungan abadi dengan Tuhan; surga Tuhan terkhusus untuk mereka dan pengikut agama lain sama sekali tidak memiliki kelayakan untuk masuk ke dalamnya; hanya Yahudi dan Kristen yang apa pun gelarnya, lebih unggul dan lebih tinggi dari semuanya dan paling layak mendapatkan penghormatan dan pemuliaan. Seluruh pengikut agama lainnya harus menghormati dan tunduk di hadapan dua bangsa pilihan ini.[11] “Orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, “Kami ini adalah anak dan kekasih-kekasih Allah.” Katakanlah, “Jika demikian, mengapa Allah menyiksamu karena dosa-dosamu? (Kamu bukanlah anak dan kekasih-kekasih Allah), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (Qs. Al-Maidah [5]:18)
Pada ayat lainnya, al-Qur’an menyatakan, “Dan mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan pernah masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanyalah) angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” Iya! Barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Tuhan-nya, dan tiada kekhawatiran terhadap mereka serta tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]:111-112) Karena itu, sesuai dengan pesan ayat ini, surga Tuhan tidak dalam dominasi eksklusif kelompok tertentu.
Dengan demikian, al-Qur’an memerangi pemikiran-pemikiran arogan, angkuh dan fanatisme buta, bahaya dan dapat menyulut api peperangan. Dan dengan argumentasi menampakkan rapuh dan tidak logisnya pemikiran-pemikiran ini.
Jelas bahwa apabila pemikiran keliru dan bahaya ini berkuasa atas bangsa dan masyarakat maka mereka tidak akan dapat mencicipi perdamaian dunia dan koeksistensi dengan yang pemeluk agama lainnya.
Mengeliminir pelbagai fanatisme buta, perasaan superior dan rasialisme adalah ruang bagi tersedianya koeksistensi secara damai dengan agama-agama, bangsa-bangsa dan mazhab lainnya di dunia.
Dalam pandangan al-Qur’an, tiada satu pun bangsa pilihan dan tiada satu pun agama yang telah mengingat persaudaraan dengan Tuhan. Superioritas dan keagungan terkhusus bagi orang-orang yang hanya tunduk di hadapan hakikat dan kebenaran. Dan fanatisme tidak akan menghalanginya untuk menerima kebenaran tersebut.
10.  Korporasi dan kerjasama dalam masalah-masalah internasional
Di antara kemestian kehidupan sosial dan masyarakat adalah korporasi dan kerja sama. Kehidupan sosial dan mekanisme hidup bermasyarakat pada tataran internasional tidak akan dapat terwujud tanpa kerja sama dan korporasi dalam pelbagai bidang politik, perekonomian, sosial dan kebudayaan. Untuk memecahkan pelbagai problematika internasional yang semakin hari semakin bertambah maka satu-satunya jalan adalah melakukan kerjasama dan korporasi di antara sesama.
Al-Qur’an menegaskan dan menganjurkan kerja sama dan korporasi yang juga merupakan prinsip rasional dan menempatkan arahnya dalam lingkup “birr wa taqwa” dan melarang kerja sama dalam perbuatan dosa dan kezaliman. “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Qs. Al-Maidah [5]:2)
Dalam lingkup dunia internasional, usaha untuk menegakkan keadilan, kesetaraan, perdamaian, keamanan, pengembangan merupakan obyek-obyek “birr” dan memerangi dominasi, eksploitasi, rasialisme dan segala jenis pemutusan akar-akar agresi pada tataran internasional, adalah usaha untuk memenuhi ketakwaan dan kedekatan bangsa-bangsa kepada kehendak dan keinginan Tuhan. Di jalan ini, segala jenis kerjasama dan korporasi yang berujung pada kerusakan, pelanggaran dan kezaliman harus dihindari.[12]
Semakin banyak perhatian terhadap prinsip-prinsip bersama maka kesepamahan internasional juga akan semakin besar. Sebagai hasilnya, perdamaian dan keamanan internasional akan tersedia.  Al-Qur’an, di samping menganjurkan orang-orang beriman untuk mengadopsi prinsip-prinsip common, “Qul Yaa Ahla al-Kitab Ta’alu..” (Katakanlah wahai Ahlulkitab marilah...) dan menasihatkan kerjasama untuk merealisasikan “birr wa taqwa” (kebaikan dan ketakwaan) memberikan izin kepada kaum Muslimin untuk melakukan transaksi ekonomi dengan mereka dan sebagainya. Dan menyantap hidangan yang mereka suguhkan, selain minuman khamar dan daging babi: Jelas bahwa transaksi perekonomian dan izin untuk menyantap hidangan Ahlulkitab dan sebagainya, merupakan media-media terciptanya korporasi dan kerjasama dan koeksistensi secara damai di antara pemeluk agama-agama. Dalam pandangan Islam, korporasi dan kerjsama, sebelum menjadi sebuah taklif agama, ia merupakan kebutuhan dasar manusia. Memberdayakan bumi yang diciptakan Tuhan dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, tidak akan tercapai secara maksimal tanpa adanya korporasi dan kerjasama. Kesimpulannya adalah bahwa meski pada ayat tidak diungkapkan secara lugas dan tegas ihwal kerjasama dan korporasi dengan Ahlulkitab dalam hal ini, namun menjelaskan satu obyek korporasi dan kerjsama dengan Ahlulkitab, memanfaatkan makanan yang disajikan oleh Ahlulkitab, selain khamar dan daging babi. Sejatinya izin untuk menyantap makanan Ahlulkitab dan sebagainya tergolong sebagai salah satu media korporasi dan kerjasama serta koeksistensi dengan damai dengan Ahlulkitab.



[1] Diadaptasi dari Indeks 1619 (Site: 1671).
[2] Silahkan lihat, Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, et al, jil. 2, hal. 450.
[3] Redaksi “Ya Bani Adam”, disebutkan pada beberapa ayat al-Qur’an, ayat-ayat, 26, 27, 35 dan 171 surah al-A’raf (7) dan ayat 70 surah al-Isra.
[4] Qs. Al-Infithar [82]:6; (Qs. Al-Insyiqaq [84]:60); dan kurang lebih 60 ayat lainnya.
[5] Silahkan lihat, al-Nizhâm al-Dauli al-Jadid baina al-Wâqi’ al-Hâli wa al-Tashawwur al-Islâmi, Yasir Abu Syabana,  hal. 542-543.
[6] Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, et al, jil. 4, hal. 54.
[7] Mabâni Hukumat-e Islâmi, Ja’far Subhani, penerjemah dan penyusun Daud Ilhami, hal. 526-530.
[8] Tafsir Nemune, jil. 4, hal. 386.
[9] Sebagian ayat seperti “Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhan-mu.” (Ali Imran [3]:50); “Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan kitab yang ada padamu sebelum Kami merubah wajah(mu).” (Qs. Al-Nisa [4]:47); “Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Isra’il) dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil, sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya, dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat, menjadi petunjuk, dan nasihat untuk orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Maidah [5]:46); “Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Hai Bani Isra’il, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” (Qs. Shaf [61]:6); “Dan setelah datang kepada mereka sebuah kitab (Al-Qur’an) dari sisi Allah yang membenarkan agama (sejati) yang pernah mereka (miliki), padahal sebelum itu mereka selalu menunggu kemenangan atas orang-orang kafir (dengan bantuan agama baru tersebut), maka setelah datang kepada mereka kitab (dan kenabian) yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya.” (Qs. Al-Baqarah [2]:89); “Dan setelah datang kepada mereka seorang rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]:101).
[10] Tafsir Nemune, jil. 22, hal. 31-32.
[11] Silahkan lihat Ham Ziisti Madzhabi, Muhammad Mujtahid Syabistari, Maktab Islam, Tahun 7, No. 3, Hal. 37.
[12] Silahkan lihat, Fiqh Siyâsi, Abbas ‘Amid Zanjani,  jil. 3, hal. 441-461.

Wednesday 20 June 2012

Pentingnya Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal


Pembaca yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, kalau kita membicarakan Ilmu dalam islam, maka kita membicarakan sesuatu yang tidak ada habisnya untuk di bahas. Sejarah mencatat, kehidupan umat manusia sebelum diutusnya Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah jauh dari petunjuk ilahi. Norma-norma kebenaran dan akhlak mulia nyaris terkikis oleh kerasnya kehidupan, karena itulah masa tersebut masa jahiliyah, yaitu masa kebodohan.

Ketika keadaaan manusia seperti itu maka Allah pun menurunkan Rasul-Nya, dengan membawa bukti keterangan yang jelas, supaya Rasul tersebut bisa membimbing manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang berderang dengan keterangan yang sangat jelas, dengan bukti-bukti yang sangat jelas, Allah ta’ala berfirman dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (yaitu syaithan dan apa saja yang disembah selain dari Allah ta’ala) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)

Islam adalah agama yang sarat (penuh) dengan ilmu pengetahuan, karena sumber ilmu tersebut adala wahyu yang Allah ta’ala turunkan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan perantara malaikat Jibril ‘alaihis salam. Allah ta’ala Berfirman: “Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (An-Najm: 3-4) Dengan ilmu inilah Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan semua jalan kebaikan, dan beliau peringatkan tentang jalan-jalan kebatilan. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang terakhir dan sekaligus Rasul yang diutus kepada umat manusia dan jin. Maka ketika Rasulullah wafat, beliau telah mengajarkan ilmu yang paling bermanfaat dari wahyu Allah ta’ala, ilmu yang sempurna, ilmu yang membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup untuk kebahagiaannya di dunia dan akhirat.

Ilmu Dahulu Sebelum Amal

Imam besar kaum muslimin, Imam Al-Bukhari berkata, “Al-’Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali”, Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal. Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Dari ayat yang mulia ini, Allah ta’ala memulai dengan ilmu sebelum seseorang mengucapkan syahadat, padahal syahadat adalah perkara pertama yang dilakukan seorang muslim ketika ia ingin menjadi seorang muslim, akan tetapi Allah mendahului syahadat tersebut dengan ilmu, hendaknya kita berilmu dahulu sebelum mengucapkan syahadat…, kalau pada kalimat syahadat saja Allah berfirman seperti ini maka bagaimana dengan amalan lainnya, tentunya lebih pantas lagi kita berilmu baru kemudian mengamalkannya. Ucapan ini beliau katakan ketika memberi judul suatu Bab di dalam kitab beliau “Shahihul Bukhari” dalam kitab Al-Ilmu.

Pentingnya Ilmu Agama

Berikut ini adalah penjelasan singkat dari sebagian Ulama berkaitan dengan perkataan Al-Imam Al-Bukhari di atas:
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin berkata: “Al-Imam Al-Bukhari berdalil dengan ayat ini (Muhammad: 16) atas wajibnya mengawali dengan ilmu sebelum berkata dan beramal. Dan ini merupakan dalil atsari (yang berdasarkan periwayatan) yang menunjukkan atas insan bahwa berilmu terlebih dahulu baru kemudian beramal setelahnya sebagai langkah kedua. Dan juga di sana ada dalil ‘aqliyah (yang telah diteliti) yang menunjukkan atas ‘ilmu sebelum berkata dan beramal’. Hal itu karena perkataan dan amalan tidak akan benar dan diterima sehingga perkataan dan amalan tersebut mencocoki syariat, dan manusia tidaklah mungkin mengetahui bahwa amalnya mencocoki syariat kecuali dengan ilmu.” (Syarh Tsalatsatul Ushul Syaikh ‘Utsaimin)

Asy-Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh berkata, “Ilmu itu jika ditegakkan sebelum ucapan dan amal, maka akan diberkahi pelakunya meskipun perkaranya kecil. Adapun jika ucapan dan amal didahulukan sebelum ilmu, walaupun bisa jadi perkaranya itu sebesar gunung, akan tetapi itu semua tidaklah di atas jalan keselamatan…Karenanya kami katakan, Jadikanlah ilmu tujuan penting dan utama, jadikanlah ilmu tujuan penting dan utama, ilmu di mulai sebelum yang lain, khususnya ilmu yang membuat ibadah menjadi benar, ilmu yang meluruskan aqidah, ilmu yang memperbaiki hati, ilmu yang menjadikan seseorang berjalan dalam amalannya sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan di atas kebodohan.” (Syarh Tsalatsatul Ushul Syaikh Abdul Aziz, Maktabah Syamilah)

Ibnu Baththal berkata, “Suatu amal tidak teranggap kecuali di dahului oleh ilmu, dan maksud dari ilmu ini adalah ilmu yang Allah janjikan pahala padanya”. Ibnu Munir berkata, “Imam Al-Bukhari bermaksud dengan kesimpulannya itu, bahwa ilmu merupakan syarat atas kebenaran suatu perkataan dan amalan. Maka suatu perkataan dan amalan itu tidak akan teranggap kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itulah ilmu didahulukan atas ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat, di mana niat itu akan memperbaiki amalan.” (Dinukil dari Taisirul Wushul Ila Nailil Ma’mul, Syarh Tsalatsatul Ushul)

Pelajaran yang dapat kita petik adalah, kita hendaknya “Berilmu sebelum berkata dan beramal” karena ucapan dan perbuatan kita tidak akan ada nilainya bila tanpa ilmu, amalan yang banyak yang kita lakukan bisa tidak teranggap di sisi Allah kalau tidak didasari dengan Ilmu.

Anjuran Berilmu Agama

Dalam Al-Qur’an dan hadits terdapat begitu banyak anjuran yang memerintahkan agar kita berilmu agama. Bahkan sesungguhnya Allah ta’ala telah memuji ilmu dan pemiliknya. Menyiapkan bagi siapa saja yang berjalan di atas titian ilmu tersebut balasan yang baik, pahala, ganjaran, Allah ta’ala mengangkat derajat kedudukan mereka di dunia dan akhirat. Allah ta’ala berfirman: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Keutamaan Ilmu Agama, Pencarinya, dan Ulama

Pembaca yang dimuliakan oleh Allah, sudah suatu kepastian bahwa setiap manusia pada asalnya adalah bodoh, dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun. Allah ta’ala berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)

Namun hendaknya setiap pribadi muslim tidak membiarkan dirinya terus menerus dalam keadaan bodoh akan ilmu agamanya sendiri. Sebab kebodohan itu apabila terus menerus dipelihara dapat mengantarkannya kepada kehinaan dan kerugian yang besar. Sebaliknya ilmu agama islam ini adalah satu-satunya ilmu yang dapat mengantarkan seseorang meraih kemuliaan hidup yang hakiki di dunia dan akhiratnya.

Berikut ini di antara motivasi yang Allah dan Rasul-Nya tunjukkan akan betapa mulianya ilmu:

1. Pencari ilmu akan Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menempuh sebuah jalan dalam rangka untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga.” (HR. Muslim)

2. Orang yang dikaruniai ilmu agama merupakan tanda kebaikan dari Allah ta’ala baginya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, Allah akan memahamkan ilmu agama kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka dari hadits ini kita bisa mengambil kesimpulan, seseorang yang tidak Allah berikan pemahaman agama kepadanya maka ini merupakan tanda Allah tidak menginginkan kebaikan kepadanya, dan sebaliknya seorang yang paham dengan agama Allah merupakan tanda kebaikan pada dirinya.

3. Ulama adalah pewaris para Nabi. “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham (harta) akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya maka sungguh ia telah mendapatkan bagian yang sangat banyak.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud dan At-Tirmidzi)

4. Seorang yang berilmu adalah cahaya yang menjadi petunjuk bagi manusia dalam urusan agama maupun dunia, bila seorang ulama meninggal maka itu adalah musibah yang dialami kaum muslimin. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengangkat ilmu secara langsung dari hati hamba-hambanya akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika Allah tidak lagi menyisakan ulama, jadilah manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh sebagai ulama, mereka bertanya kepadanya dan ia pun menjawab tanpa ilmu sehingga ia sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Rasulullah Berdoa kepada Allah agar ditambahkan ilmu agama. Cukuplah kemuliaan bagi ilmu dengan Allah ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi pilihan untuk berdoa meminta tambahan ilmu, bukan meminta tambahan harta atau yang selainnya dari perkara dunia, Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad), “Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu bagiku.” (QS. Thaha: 114)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu dan ucapan para Ulama dalam hal ini, namu cukuplah apa yang telah kami sebutkan di atas untuk mewakili banyaknya keutamaan-keutamaan tersebut.

Ilmu Apa Yang Wajib Dipelajari

Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk di amalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk di amalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu tentang tauhid, tentang 2 kalimat syahadat, ilmu tentang iman, adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.

Kemudian ilmu tentang shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari, kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.

Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini, akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, maka ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari, karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat, kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itu amalan yang benar, adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik, kita berlindung dari berbuat syirik kepada Allah ta’ala.

Mewaspadai Bahayanya Kebodohan

Pembaca kaum muslimin yang dimuliakan Allah, demikianlah beberapa bentuk kemuliaan yang Allah ta’ala berikan terhadap para pemilik ilmu sehingga tidak sama kedudukannya dengan mereka yang tidak memiliki ilmu. Allah ta’ala berfirman: “Katakanlah (ya Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang yang tidak mengetahui (jahil)?.” (QS. Az-Zumar: 9)

Sebaliknya orang yang jahil akan ilmu agama-Nya disebutkan oleh Allah ta’ala sebagai seorang yang buta yang tidak bisa melihat kebenaran dan kebaikan. Allah ta’ala berfirman, “Apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu adalah al-haq (kebenaran) sama dengan orang yang buta? (tidak mengetahui al-haq).” (QS. Ar-Ra’d: 19)

Hal ini menunjukkan bahwa yang sebenarnya memiliki penglihatan dan pandangan yang hakiki hanyalah orang-orang yang berilmu. Adapun selain mereka hakikatnya adalah orang yang buta yang berjalan di muka bumi tanpa dapat melihat. Allah ta’ala berfirman: “Tidak sama antara penghuni an-nar dengan penghuni al-jannah.” (QS. Al-Hasyr: 20)

Semoga Allah ta’ala memberi taufik kepada kita semua untuk senantiasa berilmu sebelum berkata dan beramal. Semoga Allah menolong kita untuk meraih kemuliaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat dengan mempelajari ilmu agama islam yang benar yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah bimbingan Ulama Pewaris Nabi. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Sumber : buletin.muslim

Pentingnya Pendidikan Agama Bagi Anak Umat Islam


Pentingnya Pendidikan Agama Bagi Anak Umat IslamAllah telah memberikan amanah yang sangat besar di dalam kehidupan kita. Dimana amanah tersebut seharusnya kita tunaikan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Nya. Amanat tersebut berupa anak yang telah diberikan kepada kita, kita telah diperintahkan untuk melepaskan diri, keluarga, dan termasuk anak kita dari api neraka jahannam. “Wahai orang orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan, padanya ada malaikat yang kasar, mereka tidaklah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.”
Allah telah menjadikan kita sebagai pemimpin bagi keluarga kita, yang tentunya kita juga akan dimintai pertanggung jawaban. Maka seharusnya suami dan istri saling bekerjasama dalam membina keluarga, karena masing-masing akan dimintai pertanggung-jawaban.

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggung-jawaban, maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban, dan seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan akan dimintai pertanggung-jawaban, dan seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung-jawaban, dan seorang budak adalah pemimpin pada harta majikannya dan akan dimintai pertanggung-jawaban, maka ketahuilah bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung-jawaban.”
“Allah telah mewasiatkan di dalam perkara anak-anak kalian”

Maka orang tua hendaknya bertanggung jawab terhadap keluarga dan keturunannnya, jangan sampai dia dan keturunannnya mendapatkan kemurkaan dari Allah. Maka hendaknya pemimpin keluarga memberikan pelajaran agama yang baik kepada anak keturunannya agar mereka dapat menjadi anak yang shalih. Rasulullah bersabda dalam hadits Ibnu Abbas dalam riwayat Tarmidzi

“Wahai anak kecil, sesungguhnya aku mengajari engkau beberapa kalimat, jagalah Allah maka Allah akan menjagamu, jagalah Allah maka engkau akan mendapatkan Allah di hadapanmu, apabila engkau meminta maka mintalah kepada Allah, apabila engkau memohon pertolongan maka mintalah kepada Allah”

Dalam hadits ini menunjukkan perhatian beliau yang besar dalam mendidik anak kaum muslimin. Terlebih bagi mereka yang telah menjadi kepala keluarga, wajib bagi mereka mengajarkan agama Allah baik berupa tauhid, akhlaq, adab, dsb karena semuanya adalah tanggung jawab dari orang tua. Saat rasulullah melihat seorang anak kecil yang makan dengan adab yang jelek, maka beliau bersabda

“Wahai anak kecil, apabila engkau makan maka bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, makanlah mulai dari yang dekat denganmu.”

Demikianlah Rasulullah memberikan pelajaran kepada anak-anak kaum muslimin dengan pelajaran yang diperintahkan oleh Allah. Sebelum datang suatu hari yang menghancurkan dunia ini, hari dimana seseorang akan lari dari saudaranya sendiri, dari bapak dan ibunya, dan dari istri dan anak-anaknya. Pada hari inilah kita mempertanggung jawabkan kehidupan kita di dunia, kita tidak bisa lagi mendidik anak-anak kita karena kesempatan tersebut hanya di dunia saja. Pendidikan anak-anak perlu kita perhatikan karena merekalah kebahagiaan atau kesedihan bagi kita.

“Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah fitnah”

Karena itu disamping kita mendidik dan mengarahkan anak-anak kita kepada Islam, tentunya kita tetap menyerahkan hasilnya kepada Allah. Karena yang dapat memberikan hidayah hanyalah Allah. Allah yang akan menentukan mereka mendapat petunjuk atau menjadi tersesat.

Ketika Nabi Isa baru lahir dan ditanya oleh Bani Israil, maka Nabi Isa menjawab, “sesungguhnya aku adalah hamba Allah, Allah yang telah memberikan kepadaku Al Kitab dan menjadikan aku sebagai Nabi. Dan menjadikan aku diberkahi dimanapun aku berada, dan Allah yang mewasiatkan kepadaku untuk menegakkan shalat dan zakat selama aku masih hidup.”

Kemudian dari pernyataan Nabi Isa tersebut dapat kita ketahui bahwa Allah-lah yang telah menjadikan beliau sebagai orang yang shalih, sebagai seorang Nabi, dan sebagai orang yang menerima kitab suci. Kemudian perkataan Nabi Isa yang lainnya:
“Dan Allah yang telah menjadikan aku sebagai anak yang berbakti kepada orang tuaku dan tidak menjadikan aku sebagai orang yang keras dan kasar.”

Maka apabila kita mengetahui hal ini seharusnya kita berusaha sebaik-baiknya, memohon pertolongan kepada Allah, agar anak keturunan kita dapat menjadi generasi yang shalih. Pertolongan dari Allah kita perlukan karena hidayah itu hanya datang dari Allah, bahkan Nabi Nuh tidak dapat memberikan hidayah kepada anaknya.
Berkata Nabi Nuh terhadap anaknya, “Wahai Anakku, marilah berlayar bersamaku, dan janganlah kamu bersama orang yang kafir”, jawab anaknya, “Aku akan berlindung ke puncak gunung yang dapat menjauhkan aku dari air”. Nabi Nuh berkata, “Pada hari ini tidak ada yang dapat terjaga dari perintah Allah kecuali yang disayangi oleh Allah. Wahai Rabbku sesungguhnya anakku adalah termasuk dari keluargaku, dan sesungguhnya janjimu adalah benar dan engkau adalah Dzat yang maha bijaksana”, jawab Allah, “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk dari keluargamu, karena dia beramal yang tidak baik. Maka jangan engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu di dalamnya, sesungguhnya Aku mengingatkanmu agar engkau tidak termasuk orang-orang yang bodoh”, jawab Nabi Nuh, “Wahai Rabbku, kalau seandainya engkau tidak mengampuni dan dan menyanyangi aku maka benar benar aku akan menjadi orang orang yang merugi.”

Akan tetapi seorang anak yang shalih dapat menjadi sebuah permata yang sangat indah. Seperti Nabi Ismail terhadap Nabi Ibrahim, ketika Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu? Wahai Bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan niscaya engkau akan mendapatiku termasuk orang orang yang bersabar.”

Lihatlah bagaimana jawaban dari anak yang shalih kepada bapak yang shalih, padahal mereka berdua diperintahkan untuk mengerjakan suatu hal yang sangat berat. Demikianlah kisah dari keluarga yang shalih, apabila seorang anak telah dijadikan sebagai seorang yang shalih oleh Allah, maka hal tersebut mungkin akan menjadi sebab baiknya kedua orang tuanya, tetapi apabila anak tersebut jelek, mungkin hal tersebut akan menjadi sebab kekafiran kedua orang tuanya.

Sebagaimana Allah telah mengingatkan kita dalam kisah Nabi Khidr dan Nabi Musa. Ketika Allah memerintahkan Nabi Khidr untuk membunuh seorang anak kecil, kemudian nabi Musa berkata, “Kenapa engkau membunuh seorang jiwa padahal dia tidak membunuh jiwa yang lain ?, sungguh Engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar”, jawab Nabi Khidr, “Bukankah sudah aku katakan bahwa Engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku ?”.

Kemudian di akhir kisah Nabi Khidr menjelaskan alasannya. Beliau melakukan hal tersebut karena anak kecil yang beliau bunuh sesungguhnya memiliki dua orang tua yang shalih. Dan beliau takut anak tersebut akan memaksa kedua orang tuanya menuju kekafiran, maka beliau ingin agar Allah memberikan ganti anak yang lebih shalih dan lebih penyayang kepada kedua orang tuanya.

Pada ayat ini disebutkan bahwa seorang anak dapat menjadi sebab kekafiran kedua orang tuanya. Maka anak adalah jaminan terhadap kelurusan agama kita, oleh karena itu barang siapa yang ingin istiqomah di dalam agama ini, maka hendaknya dia mendidik anaknya dengan keshalihan, karena hal tersebut diharapkan menjadi penyebab Allah memberikan kebaikan kepada kedua orang tuanya.

Khutbah ke dua.
Dan termasuk kebiasaan orang yang shalih adalah berdoa agar keturunannya diperbaiki agamanya.
“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami dari istri dan anak sebagai pelembut dan penenang jiwa kami. Dan jadikanlah kami semua (suami, istri dan anak) sebagai pemuka orang yang bertakwa.”

Rasulullah mendoakan Hasan dan Usamah bin Zaid dalam hadits riwayat imam Bukhari, “Ya Allah, sesunggguhnya aku mencintai keduanya, maka cintailah kedua anak ini.”

Demikian pula doa beliau terhadap Abdullah bin Jafar, “Ya Allah, jadikanlah pada keluarga Jafar kebaikan, dan berkahilah Abdullah pada tangan kanannya.”
“Ya Allah, berilah kepada Anas bin Malik harta dan anak yang banyak, dan berkahilah kepada yang engkau berikan kepada mereka.”
Dan doa beliau terhadap Abdullah bin Abbas, “Ya allah pahamkanlah dia dengan agama, dan pahamkanlah dia dengan tafsir.”

Dan termasuk hal yang harus kita perhatikan dalam pendidikan anak kita adalah jangan sampai kita mengeluarkan suatu ucapan yang jelek, bagaimanapun keadaan kita. Ketika Rasulullah mendengar seseorang melaknat untanya, maka Rasulullah bertanya kepada sahabatnya, “Siapa yang tadi melaknat ?, saya, turunlah engkau dari untamu, jangan engkau menyertai kami dengan sesuatu yang telah dilaknat, janganlah kalian mendoakan keburukan bagi diri diri kalian, anak-anak, dan harta kalian, jangan sampai ketika kalian berdoa kejelekan tersebut bertepatan dengan waktu yang Allah mengabulkan doa tersebut.”

penulis: Al Ustadz Abdul Muthi Al Maidany


Pengertian dan Penjelasan Tentang Pendidikan Karakter


Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.

Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.

Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya.Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.

Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta.  Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.

Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
  1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
  2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
  3. Menunjukkan sikap percaya diri;
  4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
  5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
  6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
  7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
  8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
  9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
  10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
  11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
  12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
  13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
  14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
  15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
  16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
  17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
  18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
  19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
  20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
  21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan  karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut