Keep Share what i can find for you all netizen

Advertisement

Monday 17 September 2012

Mengapa Wanita Dilarang Menjadi Pemimpin...?


Kalau ada istilah imam, tentunya kosakata ini hanya ada dalam terminologi Islam saja, jadi maksudnya: bolehkah dalam pandangan hukum Islam berimam kepada wanita? Pengertiannya disini dalam konteks yang sangat luas tentunya. Paham dan pandangan seperti ini perlu kita diskusikan kembali, karena bagaimana pun, Indonesia rakytanya berpenduduk mayoritas muslim.
Dus, pemilih yang terlibat dalam pemilu pun mayoritas muslim yang harus mengetahui dasar-dasar pemilihan seorang imam/pemimpin, karena tak ada sebuah perbuatan pun yang tidak akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak di hadapan Allah swt.

MENGANGKAT SEORANG WANITA SEBAGAI SEBAGAI IMAM

Sepakat para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya "al-Jaami li ahkami al-Quran" mengatakan, Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara). Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita menjadi kepala negara.

Pertama, terdapat hadist shahih yang melarang wanita sebagai kepala negara. "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita (HR. Bukhari)". Lafadz "wallau amrahum" dalam hadist ini berarti mengangkat sebagai "waliyul amri" (pemegang tampuk pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadist ini memang merupakan komentar Rasulullah SAW tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan putri Kisra, Raja Persia.
Sekalipun teks hadist tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan dalam hadist ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan 'qarinah' (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat 'jazm' (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara PASTI hukumnya HARAM.
Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadist ini. Mereka menunjuk salah seorang perawi hadist ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khatab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang perawi (orang yang meriwayatkan) hadist seperti 'Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-Rijal, Thabaqat Ibnu Saad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir' menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh karena itu, dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadist tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.
Disamping itu, ada juga yang menganggap bahwa larangan mengangkat wanita sebagai kepala
negara tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh karena, katanya, jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam, atau presiden bukanlah 'al-imamu al-adzam' sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam. Pendapat seperti ini  sangatlah lemah. Mengapa? Karena teks hadist di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Buran, putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam kasus Buran, Rasulullah mengharamkan, apa bedanya dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama bukan sistem pemerintahan Islam?

Kedua, di dalam al-Quran terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara. 'Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tetntang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), An-Nisa 59' Dalam ayat ini, perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz "ulil amri". Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab, bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan kata "uulatul umri".

Ketiga, didalam al-Quran terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita, (An-Nisa 34)". Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri "min baabi al-aula" (keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada laki-laki.

Keempat, dalam sejarah pemerintahan Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan wanita. Memang di Mesir pernah berkuasa seorang ratu bernama Syajaratuddur dari dinansti Mamalik. Tapi kekuasaan yang diperolehnya itu sekadar limpahan dari Malikus Shalih, penguasa ketika itu yang meninggal. Setelah tiga bulan berkuasa (jadi sifatnya sangat sementara dan relatif tidak diduga) akhirnya kekuasaan dipegang oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelas sekali tidak ada preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepala negara.

Kelima, kenyataan adanya presiden-presiden wanita di sejumlah negeri muslim (Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh) tidaklah cukup untuk menggugurkan larangan wanita menjabat kepala negara. Kenyataan di atas harus dipandang sebagai penyimpangan. Dan sebuah kenyataan bukanlah hukum, apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum itu sendiri. Sama seperti hukum shalat. Bila terlihat kenyataan cukup banyak di negeri ini orang tidak shalat, apakah lantas hukum shalat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib? Terhadap kenyataan yang menyalahi hukum Allah otomatis ia tidak bisa dijadikan pedoman bagi pembuatan dasar sebuah hukum atau pembenaran suatu tindakan bersangkutan. (Milist Sabili)



Saturday 1 September 2012

KEWAJIBAN MELAKSANAKAN SHALAT BERJAMAAH


Banyak orang yang meremehkan shalat berjamaah. Yang dijadikan alasan mereka adalah sikap tak acuh sebagian ulama terhadap masalah ini. Oleh karenanya, dalam tulisan ini saya merasa berkewajiban menjelaskannya karena sebenarnya masalah ini teramat penting.
Setiap muslim tidak dibenarkan meremehkan masalah yang dianggap penting oleh Allah Y (dalam Kitab suciNya) dan RasulNya.
Allah Y telah banyak menyebut kata  “shalat” dalam Al Qur’anul Karim. Ini menandakan begitu penting perkara ini. Allah Y telah memerintahkan kita untuk memelihara dan melaksanakan shalat dengan berjamaah.
Allah Y juga mengatakan bahwa meremehkan dan malas mengerjakan shalat berjamaah termasuk sifat orang munafik.dalam salah satu firmanNya:

] حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين [
Artinya : “ Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah(dalam shalatmu) dengan khusyu’.” ( Al Baqarah : 238)
Bagaimana seorang muslim dapat dikatakan orang yang memelihara dan mengagungkan shalat, bila ia tidak melakukan ( bahkan meremehkan) shalat berjamaah bersama rekan-rekannya.
Allah Y berfirman:

] وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين [
Artinya : “ Dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’( Al Baqarah : 43)
Ayat yang mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah. Pada awal ayat tersebut Allah Y sudah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat, ini berarti kita diperintahkan Allah untuk memelihara shalat berjamaah, bukan sekedar mengerjakan saja.
  
Dalam surat An Nisaa’, Allah berfirman yang artinya :
“ Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka( shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri ( shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka ( yang shalat besertamu ) sujud ( telah menyempurnakan serakaat ), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu ( untuk menghadapi musuh ) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat , lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata …” ( An Nisaa’ : 102)
Pada ayat di atas Allah Y mewajibkan kaum muslimin untuk mengerjakan shalat berjamaah dalam keadaan perang. Bagaimana bila dalam keadaan damai?!
Jika seorang muslim diperbolehkan meninggalkan shalat berjamaah ( oleh Allah ), tentu kaum muslimin lain yang tengah berbaris menghadapi serangan musuh dan yang paling terancam dibolehkan meninggalkan shalat berjamaah. Tetapi di dalam ayat di atas perintah Allah tidaklah demikian. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa shalat berjamaah merupakan kewajiban utama. Oleh karenanya tidak dibenarkan seorang muslim meninggalkan kewajiban tersebut.
Abu Hurairah t meriwayatkan bahwa Nabi r telah bersabda :

" لقد هممت أن آمر بالصلاة, فتقام ثم آمر رجلا أن يصلي بالناس، ثم أنطلق برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة، فأحرق عليهم بيوتهم "
Artinya : “ Aku berniat memerintahkan kaum muslimin untuk mendirikan shalat. Maka aku perintahkan seseorang untuk menjadi imam dan shalat bersama manusia. Kemudian aku berangkat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka.(HR. Bukhari Muslim)

Abdullah bin Mas’ud Ra berkata : “ Engkau telah melihat kami, tidaklah seseorang yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali ia seorang munafik yang diketahui nifaknya, atau seseorang yang sakit, bahkan seorang yang sakitpun berjalan ( dengan dipapah ) antara dua orang untuk mendatangi shalat ( shalat berjamaah di masjid ).” Abdullah bin Mas’ud lalu menegaskan, “ Rasulullah mengajarkan kita jalan-jalan hidayah, dan salah satu jalan hidayah itu adalah shalat di masjid ( shalat yang dikerjakan di masjid ).”( shahih muslim)

Abdullah bin Mas’ud Ra berkata : “ Barang siapa ingin bertemu Allah di hari akhir nanti dalam keadaan muslim, maka hendaklah memelihara semua shalat yang diserukanNya. Allah telah menetapkan kepada Nabi kalian jalan-jalan hidayah dan shalat itu termasuk jalan hidayah. Kalau kalian shalat di rumah berarti kalian telah meninggalkan jalan nabi kalian. Jika kalian meninggalkan jalan nabi kalian, maka pasti kalian akan sesat. Seorang lelaki yang bersuci dengan baik, kemudian menuju ke masjid, maka Allah Y menulis setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajad, dan menghapus satu kejahatannya. Engkau telah melihat di kalangan kami, tidak pernah ada yang meninggalkan shalat ( berjamaah ). kecuali orang munafik yang sudah nyata dan jelas nifaknya. Perlu diketahui pernah ada seorang lelaki hadir dengan dituntun antara dua orang untuk didirikan di shaf.”
Dari Abu Hurairah Ra dikisahkan bahwa pernah ada seorang lelaki buta bertanya kepada Rasulullah r, “ Wahai Rasul Allah, aku tidak punya penuntun yang menggandengku ke masjid. Apakah aku mendapatkan kemurahan( dispensasi ) untuk shalat di rumah saja?” Rasulullah bertanya kepadanya : “ Apakah kamu mendengarkan adzan (seruan ) untuk shalat?” “ ya” jawab lelaki buta itu. Rasulullah lalu berkata dengan tegas, “ kalau begitu datangilah masjid untuk shalat berjamaah !”
Hadits yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan kewajiban melaksanakannya di rumah Allah sangat banyak.oleh karena itu setiap muslim wajib memperhatikan dan bersegera melaksanakannya. Juga wajib untuk memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya, keluarga, tetangga, dan seluruh teman-teman seaqidah agar mereka mengerjakan perintah Allah r dan perintah Rasul Nya agar mereka takut terhadap larangan Allah Y dan Rasul-Nya, dan agar mereka menjauhkan diri dari sifat-sifat orang munafik yang tercela, di antaranya sifat malas mengerjakan shalat. Allah Y telah berfirman yang artinya :

“ sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah , dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud untuk riya’( dengan shalat ) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali . mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian ( iman atau kafir ). Tidak masuk dalam galongan ini ( orang-orang yang beriman ) dan tidak ( pula ) kepada golongan itu ( orang-orang kafir ). Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan ( untuk memberi petunjuk) baginya.” ( An Nisaa’ : 142-143)
meninggalkan shalat berjamaah merupakan salah satu penyebab untuk meninggalkan shalat sama sekali. Dan perlu diketahui bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran dan keluar dari Islam. Ini berdasarkan sabda Nabi r :

" بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة "
Artinya : “ batas antara seseorang dengan kekafiran dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim)

Rasulullah r bersabda :

قال رسول الله r : العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر.
Artinya : “ janji yang membatasi antara kita dan orang-orang kafir adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya maka ia kafir.”

Setiap muslim wajib memelihara shalat pada waktunya, mengerjakan shalat sesuai dengan yang disyariatkan Allah, dan mengerjakannya secara berjamaah di rumah-rumah Allah. Seorang muslim wajib taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut akan murka dan siksa-Nya.
Apabila kebenaran telah tampak dan dalil-dalilnyapun jelas, maka siapapun tidak dibenarkan menyeleweng serta mengingkari dengan alasan menurut perkataan si fulan ini atau si fulan itu, karena Allah Y telah berfirman :

] فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر, ذلك خير وأحسن تأويلا [
Artinya : “ jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( sunnahnya ), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih  utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( An Nisaa’: 59)
“ … maka hendaklah orang-orang yang menyalahi kehendaknya (Rasul ) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An- Nuur : 63)
tidak diragukan lagi,shalat berjamaah mempunyai beberapa hikmah serta kemaslahatan. Hikmah yang paling tampak adalah akan timbul di antara sesama muslim saling mengenal dan saling membantu untuk kebaikan, ketaqwaan, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran.
Hikmah lainnya adalah untuk memberi dorongan kepada orang yang meninggalkannya, dan memberi pengajaran kepada orang yang tidak tahu. Juga untuk menumbuhkan rasa tidak suka / membenci kemunafikan, untuk memperlihatkan syiar-syiar Allah di tengah-tengah hamba-hamba-Nya, dan sebagai dakwah lewat kata-kata serta perbuatan.
Semoga Allah Y melimpahkan taufiq-Nya kepada saya dan anda sekalian untuk mencapai ridha-nya serta perbaikan masalah dunia dan akhirat. Kami juga memohon perlindungan dari kejahatan-kejahatan diri serta amalan-amalan kami dan dari sifat-sifat yang menyerupai orang-orang kafir dan munafik. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

PENULIS
SYEIKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ
Dan
MUHAMMAD BIN SHALIH AL-‘UTSAIMIN

PENERJEMAH
ALI MAKHTUM ASSALAMY

 EDITOR
MUHAMMADUN ABD HAMID ABD WAHAB
MUH.MU’INUDINILLAH BASRI