PENALARAN HUKUM SALAT JUMAT HASBI AS- SHIDDIEQY
PENALARAN HUKUM SALAT JUMAT
Oleh: Kafrawi, MA
(Dosen STAIN Malikussaleh - Lhokseumawe
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengetahui, apa
hakikat hukum salat Jumat menurut Hasbi dan metode apa yang digunakan Hasbi
Ash-Shiddieqy dalam menetapkan hukum salat Jumat serta faktor- faktor apa yang
menyebabkan perbedaan hasil istinbat antara Hasbi dan Jumhur ulama.
Penelitian yang penulis lakukan adalah bersifat kualitatif dengan metode
diskriptif– analitis terhadap sumber- sumber primer yaitu buku atau kitab yang
dikarang sendiri oleh Hasbi dan sumber skunder yaitu buku serta kitab lainnya
yang berhubungan dengan masalah yang di kaji.
Hasil penelitian menunjukkan sesungguhnya terdapat perbedaan perspektif
Hakikat salat Jum’at Hasbi yang sepakat dengan Muqabil Jumhur berbeda dengan
Jumhur Ulama. Menurut Hasbi salat Jum’at dua raka’at adalah salat asal, bukan
sebagai salat pengganti salat Zuhur. Dan
mewajibkan salat Jumat kepada semua mukallaf yang sudah baligh dan
berakal, laki- laki dan perempuan serta berjama’ah bukan syarat sahnya Jumat,
akan tetapi kewajiban jama’ah merupakan lain yang diwajibkan tersendiri. Dasar
Hasbi melakukan penalaran hukum Khususnya pada masalah Salat Jumat adalah
memakai Metode Bayani, artinya telaah teks, seperti pemahaman lafadh Am,
Khas, Muthlaq dan Muqayyad. Faktor- faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan antara Hasbi dan Jumhur Ulama, adalah : Berbeda pemahaman ayat dan
hadis sebagai dasar hukum wajib asal (menurut Hasbi) dengan wajib mubaddil
( menurut Jumhur Ulama). Serta berbeda pemahaman tentang istisna sebagai alat
takhsis pada Hadis riwayat Abu Daud sebagai dalil wajib Jumat menurut Jumhur,
dalil tidak wajib Jama’ah bagi perempuan beserta hamba dan lainnya menurut
Hasbi.
Salat Jumat merupakan salah satu ibadah yang wajib dilakukan oleh
mukallaf. Mukallaf dapat dipahami yaitu mampu memahami dalil- dalil hukum baik secara
mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk
mengamalkan isi dari ayat atau hadis Rasulullah. Adanya kemampuan memahami
hukum taklifi itu disebabkan seseorang itu mempunyai akal yang sempurna.
(Satria Effendi M Zein, Ushul Fiqh :2008:75) Umumnya, dua rakaat salat Jumat
dikerjakan dengan asumsi; bahwa ia merupakan ibadah pengganti salat Zuhur.
Asumsi ini terbangun berdasar pijakan kepada pendapat Jumhur ulama yang diikuti
oleh kebanyakan umat Islam. Meski diikuti oleh mayoritas muslim di berbagai
belahan bumi, namun pendapat ini tidak lepas dari kontroversi. Dalam konteks
Indonesia, pendapat di atas juga mendapat tantangan, salah satunya dari tokoh
pembaharu fikih Indonesia, yaitu Hasbi Ash-Shiddieqy. (Mukti Ali, Sambutan
dalam Nouruzzaman Ash-Shiddieqy, Fikih Indonesia: 2001: vii )
Hasbi
tidak sependapat dengan Jumhur. Sebagaimana disimpulkan Ibn Rusyd, Jumhur ulama
meyakini; bahwa hukum wajib salat Jumat berlaku karena ia merupakan pengganti (badl)
salat Zuhur. Adapun kewajiban melaksanakannya sangat tergantung dari
terpenuhinya syarat-syarat Jumat, antara lain, khutbah, berjamaah, dan bilangan
jamaah tidak kurang dari empat puluh orang. Jika syarat-syarat ini tidak
terpenuhi, berarti salat Jumat itu tidak sah, atau menjadi tidak wajib
dilakukan. Maka yang harus dilaksanakan adalah salat Zuhur, karena menurut
Jumhur, salat Jumat adalah pengganti salat Zuhur. (Ibn Rusydi Al Qurthuby al
Andalusy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid : t.tp:
113- 116)
Sebaliknya
bagi Hasbi Ash-Shiddieqy, salat Jumat diwajibkan atas setiap mukallaf secara
berjamaah, tapi bukan sebagai pengganti salat Zuhur. Oleh karena itu, jika
seseorang berhalangan (uzur) menghadiri salat Jumat berjamaah, maka ia
harus mengerjakan salat Jumat walau sendirian di rumahnya, bukan salat Zuhur. (T.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman
Shalat : 1982: 394). Selanjutnya Hasbi mengatakan;
”Salat Jumat diwajibkan atas tiap- tiap pribadi sebanyak dua rakaat, baik
dikerjakan sendiri-sendiri, maupun dikerjakan berjamaah (T.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman
Shalat : 1982: 398). Selain itu menurut Hasbi, khutbah Jumat bukan rukun
atau syarat sah salat Jumat (Hujjatul
Islam,Hukum Salat Zuhur dihari Jumat, Koran Republika, Ahad tanggal 22 Nov 2009). Selanjutnya Hasbi
mengatakan bahwa
Sembahyang Jumat fardhu ‘ain,
demikian pendapat Jumhur, setengah ulama mengatakan fardhu kifayah. Menurut
pentahkikan kami yang dapat dipandang fardhu kifayah itu ialah menghadiri
jamaah Jumat. Tidak wajib sembahyah Jumat atas anak kecil, hamba, musafir, dan
wanita, demikian pendapat Jumhur. Dalam pada itu, ada diriwayatkan dari Ahmad
bahwa Jumat itu wajib atas budak, Daud mewajibkan Jumat atas budak. Menurut
pentahkikan kami yang tidak diwajibkan atas budak, musafir, dan perempuan ialah
menghadiri Jum’at, bukan mengerjakan Jumat. Boleh mengerjakan sesama wanita, dan boleh juga
berjama’ah bersama-sama orang laki-laki di mesjid (TM. Hasbi Ash-
Shiddieqy, Hukum- hukum Fiqh Islam :1970: 108)
Pendapat Jumhur dan Hasbi di atas bertolak belakang, padahal dalil
yang mendasari kedua pendapat tersebut merujuk kepada nas yang sama. Hal ini
menggugah rasa ingin tahu penulis untuk mengkaji lebih jauh.
Adapun yang menjadi dasar hukum kewajiban salat Jumat adalah al-
Quran surat al-Jumu‘ah ayat 9:
يآيّهاالّذين
آمنواإذا نودي للصّلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكرالله وذروالبيع ذالكم خير لكم
إن كنتم تعملون
Semua ulama sepakat menyatakan bahwa ayat di atas adalah
dasar hujjah wajibnya salat Jumat. Pemahaman wajib ini, dapat dilihat dalam
ungkapan kalimat yang mengandung perintah (amr), yaitu pada kalimat فاسعوا
إلى ذكرالله, “bersegeralah kamu pada mengingat
Allah”. Selanjutnya kewajiban salat Jumat juga dipahami dari sabda Rasulullah saw.(An- Nasai, Kitab
Sunan Kubra, juz II :
2001 M/ 1421 H: 260)
أخبرني محمود بن غيلان قال حدثنا
الوليد بن مسلم قال حدثني المفضل ابن فضاله عن عياش بن عباس عن بكاير ابن عشج عن
نفيع عن ابن عمر عن حفصة زوج النّبيّ صلّيى الله عليه وسلم قال: رواح الجمعة واجب على
كلّ محتلم.
Selain ayat dan hadis di atas, Hasbi juga mendasarkan pendapatnya
atas analisa terhadap hadis Umar,
(Ibn Hanbali, Musnad
lil Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal, juz II, Cet I: 1416 M/ 1995 H: 274-275), yaitu.
حدثنا وكيع حدثنا سفيان, و عبد الرّحمن,عن
سفيان,عن زبيد الايام, عن عبدالرّحمن بن أبي ليلى,عن عمر قال: صلاة السفر ركعتان,
صلاةالاضحى ركعتان, وصلاة الفطر ركعتان, وصلاةالجمعة ركعتان تمام غير قصر على لسان
محمد صلّى الله عليه وسلّم.
Dan hadis Abu Daud (Abi Daud Sulaiman Ibn Asy ‘asy as- Sajastany, Sunan Abi Daud:
ttp: 180).
حدثنا عباس بن عبدالعظيم,حدثني إسحاق بن منصور
ناهريم, عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر,عن قيس بن مسلم ,عن طارق بن شهاب, عن النبي
صلى الله عليه وسلم قال: الجمعة حق واجب على كلّ مسلم فى جماعة إلاّ أربعة: عبد
مملوك أو امرأة أو صبيّ أو مريض.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Jumhur ulama, sehingga
memperlihatkan terjadinya perbedaan interpretasi terhadap dalil yang sama. Hal
ini menarik perhatian penulis untuk menelusuri letak perbedaan interpretasi
kedua pendapat ini.
Ada alasan tersendiri mengapa penulis memilih Hasbi sebagai obyek
penelitian. Antara lain; pertama, Hasbi berani berbeda pendapat dengan
Jumhur ulama tentang hukum salat Jumat. Kedua, Hasbi berani berisntinbat
kembali pada hukum yang sudah dipandang tetap oleh mayoritas umat Islam. Ketiga, untuk memahami solusi, tentang sikap yang
paling proposional dalam hal ketentuan hukum salat Jumat.
Setelah melakukan eksplorasi awal, penulis menemukan kenyataan
bahwa peristinbatan Hasbi masih dalam batas wilayah bayani. Dalam
menerapkan peristinbatan ini, Hasbi melakukan telaah berdasarkan tingkat
kejelasan tekstual dari masing-masing nas, dan keberadaan nas yang saling
menjelaskan.
Teks ayat dalam surat al-Jumuah di atas, tidak secara eksplisit
menyatakan jama’ah sebagai syarat, dan tidak ada penjelasan qat‘i
tentang berlakunya shalat Jumat dua rakaat dalam kondisi uzur berjama’ah.
Kemudian menurut Hasbi, ayat tersebut diperjelas oleh hadis Hafsah yang
menyatakan bahwa, salat Jumat diwajibkan bagi setiap muslim yang sudah baligh (muhtalim).
Lalu berdasar hadis Umar, Hasbi menyimpulkan bahwa shalat Jum’at hanya dua
rakaat, tidak lebih dari itu, baik dalam kondisi ‘azimah atau rukhsah
karena uzur. Kesimpulan Hasbi ini didukung oleh hadis Abu Daud di atas yang
menurut Hasbi mengecualikan kewajiban jamaah Jumat, bukan kewajiban Jumat.
Dari fakta ini penulis melihat, bahwa kedua pendapat di atas
berpijak kepada dalil nas yang sama dengan interpretasi yang berbeda. Secara metodologis sebab perbedaan
ini terletak pada penerapan metode bayani. Metode Bayani adalah Pola penalaran yang pada dasarnya bertumpu
pada kaidah- kaidah kebahasaan
(semantic). Dalam ushul fikih, kaidah- kaidah ini telah dikembangkan sedemikian
rupa, dibawah judul al- qawa’id al- lugawiyyah atau al- qawa’id al-
istinbatiyyah yang mungkin dapat diterjemahkan secara bebas dengan “ semantic
untuk penalaran fikih”. (Alyasa’ Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah,
Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab:1998:
7). Perbedaan
penerapan inilah yang melahirkan kesimpulan hukum berbeda. Hal ini menarik penulis untuk melakukan penelitian terhadap metode
yang dipergunakan oleh Hasbi dalam menganalisa hukum tentang salat Jumat
tersebut.
Terkait dengan ayat di atas, penerapan metode bayani akan menuntut
kajian tentang ‘am-khas, yaitu keumuman kata orang beriman (allazina
amanu) dalam ayat. Sebab kata ini mencakup laki-laki, perempuan,
kanak-kanak, dan budak yang beriman. Sedangkan bagi Jumhur, perempuan,
kanak-kanak, dan budak tidak terkena kewajiban salat Jumat. Kajian ini juga
menuntut pembahasan tentang mutlaq-muqayyad, karena Hadis Abu Dawud di
atas mengandung taqyid kewajiban salat Jumat dengan jama’ah yang
kemudian dikecualikan (istitsna’).
Mengingat
fungsi hadis sebagai penjelas ayat. Al Sunnah memerinci dan menjelaskan
keglobalan hukum yang dibawa al Quran, membatasi kemutlakannya dan
mentakhsiskan keumumannya. Penjelasan, pembatasan, atau pentakhsisan al Sunnah
terhadap al Quran adalah menjelaskan
makna al Quran. Karena Allah swt memberikan hak kepada Rasulullah saw. Untuk
menjelaskan nash al Quran sebagaimana dalam Q. S. an Nahl: 44 ( Abd al-Wahhab
Khallaf, ‘Ilmu Usul al-Fiqh : 1972: 45)
Maka kajian ini menuntut penelusuran tentang hubungan ayat dengan
hadis, kritik sanad dan matan hadis sebagai pendukung. Kajian ini merupakan
analisis terhadap teks dengan menggunakan pendekatan hermeuneutik. Hermeneutika
sebagai ilmu pemahaman linguistik. Dari kapsitasnya sebagai metode filologi,
hermeneutika melangkah menjadi sebuah ilmu linguistik. Hermeneutika difungsikan
sebagai ilmu untuk memahami berdasarkan teori- teori linguistik. Disini
hermeneutika menjadi landasan bagi segala interpretasi teks, karena memaparkan
segala kondisi yang pasti ada dalam setiap interpretasi (Sibaiwi, Hermeneutika
Al Quran Fazlur Rahman, cet I : 2007: 9). Sebab ayat di atas diinterpretasi
dengan merujuk kepada hadis terkait. Dalam melakukan analisa, penulis
menggunakan metode analisis deskriptif- komparatif.
Dinamika fiqh dalam ranah dan khazanah hukum Islam yang universal
dan fleksibel sepanjang kehidupan manusia di muka bumi ini, terdapat aneka
corak ragam pemahamannya yang sesuai dengan metode ijtihad yang dipakai. Dalam
hal ini yang akan kita analisa adalah terhadap metodologi pemahaman hukum Islam
Hasbi terhadap shalat jum’at. Untuk itu ada poin penting sangat perlu di analisa secara mendalam
yaitu;
1.
Apa hakikat hukum salat
Jumat menurut Hasbi?
2.
Metode apa yang digunakan Hasbi Ash-Shiddieqy dalam menetapkan
hukum salat Jumat?
Sebelum diuraikan salat Jumat dalam pemahaman Hasbi, maka disini
terlebih dahulu akan dijelaskan definisi salat itu sendiri menurut Hasbi.
Adapun salat itu ada beberapa ta’rif yaitu, antara lain adalah:
1.
Menurut bahasa, salat adalah do’a memohon kebajikan dan pujian.
Maka salat Allah kepad NabiNya, ialah pujian Allah swt, kepada NabiNya. Sebelum
islam, orang arab memakai kata salat dengan arti demikian dan arti itu terdapat
juga pada beberapa tempat dalam Alqur’an (T. M. Hasbi Ash
Shiddieqy, Pedoman Shalat : 1982: 62), Seperti dalam surat at- Taubah ayat 103.
وصلّ عليهم إنّ صلوتك سكن لهم.
Dan dalam surat
Al Ahzab, 56.
إنّ الله وملاكته يصلّون على النبي.
2.
Menurut istilah
syara’( Ash- Shiddieqy, Pedoman Shalat : 62.) adalah;
أقوال وأفعال مفتتحة بالتكبير مختتمة بالتسليم
يتعبد بها بشرائط مخصوصة
Definisi diatas ini baik
secara bahasa maupun syara’ adalah gambaran yang merupakan tentang rupa salat
secara lahir, demikian yang dipahami Hasbi. (Ash- Shiddieqy,
Pedoman Shalat: 63). Penamaan salat Jumat dengan salat Jumat,
adalah karena kita mengerjakannya pada hari Jumat, sebagaimana juga salat I’ed
yang dikerjakan pada hari I’ed, yaitu hari raya dan pula nama Jumu’ah adalah
nama yang yang diberikan Islam, dimasa jahiliah dinamai ‘urubah demikian
menurut penjelasan Hasbi.( Ash- Shiddieqy, Pedoman Shalat: 393) Apa
yang dikatakan oleh Hasbi jelas ada relevansinya dengan yang tersurat
sebagaimana dalam surat al Jumu’ah, sehingga gambaran salat Jumat adalah khusus
salat Jumat bukan salat Zuhur.
Adapun salat
Jumat menurut Hasbi, adalah salah satu diantara seteguh- teguh fardhu Islam dan
suatu pertemuan muslimin yang besar. Pertemuan salat Jumat lebih besar
kefardhuannya, selain dari pertemuan ‘Arafah. (Hasbi: Tuntunan Shalat Nabi Saw, 2005:165)
Karena salat
Jumat merupakan salah satu salat yang ditegaskan dalam Alqur’an secara
gamblang. Kata setengah ulama: “ salat ini dinamai dengan Jumat ialah karena
pada hari itu para penduduk berkumpul dan mengerjakan salat secara berjama’ah. ( Hasbi: Tuntunan
Shalat Nabi Saw : 2005:167)
Dalam pelaksanaan salat Jumat disini terjadi
perbedaan pendapat antara Hasbi yang
sependapat dengan Muqabil Jumhur ulama dengan Jumhur ulama. Ada beberapa
pelaksanaan salat Jumat, menurut Hasbi itu lebih relevan dan sesuai dengan
dalil- dalil, baik dalil Alqur’an maupun dalil Hadis. Antara lain, adalah
sebagaimana tersebut dalam Alqur’an surat al Jumu’ah ayat 9 sebagaimana telah
disebutkan terdahulu.
Kemudian
dalam menafsirkan kalimat ذكرالله dalam ayat diatas, Hasbi sudah memasukkan dua jenis
pekerjaan yang berbeda, yaitu : Khutbah dan Salat Jumat diketika imam diatas
mimbar. Dalam ayat tersebut tersirat perintah azan dan salat serta pengharaman
jual- beli. Pada masa Nabi ada sebahagian orang yang tetap duduk berjualan di
Baqi’ Az Zubair sesudah azan, maka diturunkanlah ayat ini (Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al Bayan Tafsif Penjelas Alqura’nul Karim : 2002: 1339). Ayat diatas juga
dapat dipahami tentang kewajiban
atas tiap- tiap golongan manusia mendirikan salat Jumat, dimana saja ia berada.
Dalam ayat diatas kalimat alladhina amanu
mengandung umum, artinya semua orang yang beriman.
Ayat tersebut juga dipertegas dengan
Hadis Nabi, riwayat an- Nasai (An- Nasai, Kitab Sunan Kubra, juz II : 2001 M/ 1421
H: 260),
dibawah ini:
أخبرني محمود بن غيلان قال حدثنا الوليد بن مسلم قال حدثني المفضل
ابن فضاله عن عياش بن عباس عن بكاير ابن عشج عن نفيع عن ابن عمر عن حفصة زوج
النّبيّ صلّيى الله عليه وسلم قال: رواح الجمعة واجب على كلّ محتلم.
Apa
yang tersurat dalam hadis diatas, sudah sangat jelas mengatakan bahwa
sesungguhnya salat Jumat merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang beriman yang sudah bermimpi (balig). Sehingga perintah
untuk segera ke Jumat merupakan suatu yang tidak diganti dengan yang lain,
selain Jumat.
Kemudian dalam masalah jama’ah salat
Jumat, Hasbi berpendapat bahwa tidak boleh seseorang mengundurkan diri dari
Jumat, dan tidak boleh menegakkan Zuhur karena tidak mempunyai bilangan orang
yang banyak (Ash- Shiddieqy, Pedoman Shalat : 389). Bilangan yang banyak disini
adalah jumlah bilangan yang musti ada 40 orang jama’ah minimal, dengan demikian
sah Jumat dengan dua atau tiga orang. sebagaimana pendapat As Sayuti dalam
Nurul Lam’ah yang dikutip oleh Hasbi (Ash- Shiddieqy: Pedoman Shalat:
390), yaitu;
لم يثبت فى شيء من الأحا د يث تعيين عددة مخصوص
Dalam
hal jumlah Jama’ah Jumat, juga Hasbi tidak sependapat dengan Jumhur ulama.
Dan tidak boleh lagi menurut Hasbi
untuk menegakkan duhur sesudah ber Jumat
yang dikerjakan dengan bilangan yang tidak cukup banyak itu (40 orang) (Ash
Shiddieqy, Tuntunan Shalat : 167-168). Adapun bila seseorang melakukan salat duhur
kembali mengatas namakan ihtiyat, adalah bid’ah muhdatsah. Dan
orang yang mengerjakannya berdosa, karena berarti menambah- nambah agama,
demikian kesimpulan Hasbi(Ash Shiddieqy, Tuntunan Shalat:
167-168)
Adapun orang-
orang yang tidak hadir kemesjid untuk melaksanakan salat jama’ah Jumat, dengan
alasan apapun baik dalam keadaan berhalangan (idthirar) maupun tidak (ikhtiyar),
maka diwajibkan melaksanakan salat Jumat dua raka’at juga (Hasbi,
Pedoman Shalat : 394). Hal
ini adalah sejalan dengan yang tersurat dalam hadis dibawah ini
dalam Hadis Umar, riwayat Ahmad Ibn Hanbal (Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbali, Musnad
lil Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal, juz II, Cet I: 1416 M/ 1995 H: 274-275).
حدثنا
وكيع حدثنا سفيان, و عبد الرّحمن,عن سفيان,عن زبيد الايام, عن عبدالرّحمن بن أبي ليلى,عن عمر قال: صلاة
السفر ركعتان, صلاةالاضحى ركعتان, وصلاة الفطر ركعتان, وصلاةالجمعة ركعتان تمام
غير قصر على لسان محمد صلّى الله عليه وسلّم.
Dengan
demikian pelaksanaan salat Jumat merupakan suatu kewajiban yang mutlak harus
dilaksanakan oleh setiap kaum muslimin dan merupakan asal bukan sebagai pengganti salat Zuhur,
lelaki dan wanita yang sudah baligh dan berakal
dimana saja ia berada, dalam kondisi apa pun.
Kemudian
juga dalam pelaksanaan salat Jumat adalah
berjumlah dua rakaat dan tidak terikat dengan ketentuan bilangan 40
orang ahli Jumat yang melakukan salat Jumat, karena dalam pendapat Hasbi
bilangan jama’ah salat Jumat shah dilakukan dengan sudah memenuhi syarat shah
jama’ah saja. Untuk itu dalam pendapat Hasbi tidak ada lagi pelaksanaan salat
duhur walaupun dengan alasan sebagai suatu jalan yang ihtiyat. Salat
Jumat dengan berjama’ah, Hasbi sendiri melakukannya secara jama’ah. Dalam pelaksanaan salat Jum’at
secara jama’ah, bahkan sering Hasbi menjadi imam salat Jum’at, bahkan Hasbi
menjadi khatib pada Mesjid- mesjid di daerah Yogyakarta dan sekitarnya (Tgk. H.
Fuad Hasbi, Wawancara : 19 April 2012).
Adapun
jama’ah sebagai syarat sah Jumat, menurut Hasbi, menghadiri jama’ah Jumat ke
mesjid suatu tugas yang berdiri sendiri. Dan berdosa orang yang tidak
melaksanakannya dengan tak ada uzur yang menggugurkan tugasnya (Ash- Shiddieqy,
Pedoman Shalat: 401). Memang benar
kata- kata muhtalim, adalah laki- laki yang sudah bermimpi dan nyata
pula bahwa diwajibkan bagi laki- laki yang sudah berumur melaksanakan salat
Jum’at dengan berjama’ah. Namun demikian tidak dapat dipahami, bahwa pergi ke
Jumat adalah untuk mengerjakannya beserta jama’ah, syarat sahnya, demikian
menurut Hasbi.
Adapun
Kemudian bagi kaum wanita, boleh melakukan salat Jumat berjama’ah boleh tidak
berjama’ah, dan boleh dimesjid atau dirumah, demikian kesimpulan Hasbi (Muhammad
Hasbi ash- Shiddieqy, Koleksi Hadis- Hadis Hukum, 2011: 290). Jika dalam pelaksanaan salat Jumat yang dilakukan secara jama’ah
hendaklah melakukan dengan memenuhi segala adab Jumat: ber-adzan, berkhutbah
dan lain- lainya. Jika melakukan sendirian, hendaklah dilakukan dengan adab-
adab salat sendirian, demikian menurut pentahqiqan Muhammad Syaqir yang
disimpulkan Hasbi (Muhammad Hasbi
ash- Shiddieqy, Koleksi Hadis- Hadis Hukum, jil II : 2011: 290). Masalah kaum wanita tiadak
berkewajiban untuk salat Jumat berjama’ah dapat juga dipahami dalam hadis Abu
Daud, dibawah ini, kalaupun hadis ini
dijadikan hujjah.
حدثنا
عباس بن عبدالعظيم,حدثني إسحاق بن منصور ناهريم, عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر,عن
قيس بن مسلم ,عن طارق بن شهاب, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الجمعة حق واجب
على كلّ مسلم فى جماعة إلاّ أربعة: عبد مملوك أو امرأة أو صبيّ أو مريض
Hasbi
berpendapat bahwa hadis diatas, memberi pengertian bahwa, mereka tidak wajib
menghadiri jama’ah Jumat, bukan tidak wajib mengerjakan Jumat (Ash-
Shiddieqy, Koleksi Hadis: 291). Sebagaimana Hasbi mengatakan dalam
buku Hukum-hukum Fiqh Islam (TM. Hasbi Ash- Shiddieqy, Hukum-
hukum Fiqh Islam , 1970: 108), yaitu;
Sembahyang Jumat fardhu ‘ain,
demikian pendapat Jumhur, setengah ulama mengatakan fardhu kifayah. Menurut
pentahkikan kami yang dapat dipandang fardhu kifayah itu ialah menghadiri jamaah
Jumat. Tidak wajib sembahyah Jumat atas anak kecil, hamba, musafir, dan wanita,
demikian pendapat jumhur. Dalam pada itu, ada diriwayatkan dari Ahmad bahwa
Jum’at itu wajib atas budak, Daud mewajibkan Jumat atas budak. Menurut
pentahkikan kami yang tidak diwajibkan atas budak, musafir, dan perempuan ialah
menghadiri Jumat, bukan mengerjakan Jumat. Boleh mengerjakan sesama wanita, dan boleh juga
berjama’ah bersama-sama orang laki-laki di mesjid.
Dengan demikian salat Jumat tetap wajib dilaksanakan tidak secara
berjama’ah oleh kaum wanita tetapi dengan sendiri- sendiri. Salah satu dalil
yang dipegang untuk mewajibkan Jumat bagi perempuan, ialah gugurnya duhur dari
mereka dengan mengerjakan Jumat sebagaimana yang dilakukan oleh isteri para
sahabat di masa Rasulullah, demikian yang disimpulkan Hasbi (Ash-
Shiddieqy, Koleksi Hadis: 290). Ibnu Munzir, menukilkan bahwa berdasarkan Ijma’ ulama jika mereka
hadir ke mesjid dan mengerjakan salat Jumat, maka tidak diharuskan lagi salat
Zuhur (Ash- Shiddieqy, Koleksi Hadis: 290).
Dari
beberapa pendapat Hasbi tentang salat Jumat, ada 3 masalah yang menjadi focus
penulis dalam melakukan pengkajian sesuai dengan dalil- dalil diatas, menurut Hasbi dapat dipahami beberapa hal, yaitu;
a.
Bahwa salat Jumat, dua raka’at, baik dikerjakan sendiri
maupun dikerjakan berjama’ah. Artinya salat Jumat ini dilakukan hanya dua
raka’at asal, baik dalam kondisi rukhsah
maupun a’zimah.
b.
Jama’ah bukan syarat sah Jumat
c.
Bahwa salat Jumat diwajibkan atas tiap- tiap mukallaf,
laki, perempuan, seperti keadaan salat’ied dan salat dalam safar (Ash-
Shiddieqy, Pedoman Shalat: 401- 402).
C.
Metode Penalaran Hukum Salat Jumat
Hukum salat Jumat dalam pandangan Hasbi sebagaimana telah diketahui
dalam penjelasan konsep pelaksanaan salat Jumat diatas, tidak dapat dipisahkan
dari, bagaimana Hasbi melihat dan metode
apa yang dipakai oleh Hasbi, sehingga melahirkan hukum salat Jumat yang berbeda
dengan Jumhur ulama dan ma’ruf masyarakat Islam. Salat Jumat merupakan salah
satu rangkaian ibadah yang khassah dilakukan oleh segenap ummat Islam dibelahan
bumi manapun.
Adapun bagaimana Hasbi melakukan penalaran hukum atau dengan kata
lain ijtihad, sehingga melahirkan kesimpulan hukum yang berbeda dengan Jumhur
pada masalah salat Jumat. Menurut Dr. Syahrizal, Hasbi, terhadap masalah yang sudah ada
ketetapan hukumnya baik dari eksplisit nash maupun yang dihasilkan oleh ulama
mazhab melalui ijtihad, Hasbi menggunakan metode komparatif (perbandingan)
terutama antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain dari berbagai aliran mazhab, sehingga dapat dipilih mana
yang lebih dekat kepada kebenaran dan didukung oleh dalil yang kuat (rajih) (Nourouzzaman
Shiddiqi: Fiqh Indonesia: 69). Dalam
melakukan perbandingan hukum Hasbi tidak memilih hanya pada satu mazhab saja,
tetapi Hasbi lebih terbuka lagi terhadap mazhab selain sunni seperti Syi’I bahkan pada hukum adat sekalipun (Syahrial,
Metode Ijtihad T.M Hasbi ash- Shiddieqy:
99).
Meskipun dikatakan bahwa Hasbi menganut metode komparatif dalam
mengijtihadkan hukum, termasuk juga bila dilihat dalam masalah salat Jumat.
Namumn disini nampaknya lebih tepatnya kalau dikatakan, bahwa Hasbi memakai
metode Bayani. Metode Bayani
adalah: Pola penalaran yang pada dasarnya bertumpu pada kaidah- kaidah kebahasaan (semantic). Dalam ushul
fikih, kaidah- kaidah ini telah dikembangkan sedemikian rupa, dibawah judul al- qawa’id al- lugawiyyah atau al-
qawa’id al- istinbatiyyah
yang mungkin dapat diterjemahkan secara bebas dengan “ semantic untuk penalaran
fikih”( Alyasa’ Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian
Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab : 1998: 7). Hal senada juga Metode bayani
ini menguraikan tata
bahasa yang dikandung dalam bahasa Alqur’an dan hadis yang dijadikan sebagai
dasar hukum dalam melakukan penalaran hukum oleh Hasbi. Alqur’an adalah ‘ kitabun
‘arabiyyun mubin”, yang tidak mungkin
dialihkan kedalam bahasa lain tanpa mengalami penyimpangan. Seperti
dikemukakan oleh para pakar ushul fiqh” bahasa arab adalah bagian dari esensi Al-Quran”( Muhammad
Abed al- jabiri, Takwin al Aql al-‘ Arabi, Formasi Nalar Arab, terj Imam
Khoiri: 2003: 122). Tata bahasa
Arab yang dapat dipahami dalam metode Bayani ini seperti masalah umum,
khusus, mutlak, muqayyad, perintah, larangan
dan lainnya. Tata bahasa Arab memiliki banyak pengertian makna dan struktur
bahasa, sehingga memerlukan pemahaman yang lebih jelas dan kongkrit.
Ada beberapa alasan yang
dijadikan Hasbi dalam menguatkan pendiriannya bahwa, shalat Jum’at wajib atas
semua yang mukallaf laki- laki dan perempuan, jama’ah tidaklah dikatakan syarat
sah dalam pelaksanaan Jumat dan salat
Jumat hanya dua raka’at saja, adapun dalil yang dijadikan Hasbi dapat dilihat
dalam buku pedoman salat dan sebagaimana yang disimpulkan oleh Nouruozzaman
Shiddiqi dalam Fiqh Indonesia, antara
lain:
Pertama,
Alqur’an surat 9: al- Jumuah, 62:
يأيّهاالذين
امنوا إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فا سعوا إلى
ذكرالله وذرواالبيع ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون.
Ayat diatas menunjukkan bahwa salat tengah hari pada hari Jumat
adalah salat Jumat, bukan salat yang namanya Zuhur, lagi pula perintahnya
bersifat umum yaitu kepada laki- laki dan perempuan, baik dalam safar atau
tidak, sakit atau juga tidak , yaitu pada kalimat يأيّهاالذين
امنوا. Dari keumuman ayat ini, sejauh belum ada yang mengkhususkan,
maka berlaku umum. Maka kewajiban salat Jumat berlaku untuk seluruh mukallaf.
Dan hukum wajib disini di pahami Hasbi dari lafadh amar dalam ayat diatas,
yaitu pada kalimat فاسعوا.
Kemudian Hasbi dalam mendukung pendapatnya, salat Jumat diwajibkan atas
tiap- tiap orang mukallaf yang telah diwajibkan salat maktubah, adalah hadis
dibawah ini, sebagaimana dikatakan Hasbi, dalam buku pedoman shalat (Ash-
Shiddieqy, Pedoman Shalat: 390).
أخبرني محمود بن غيلان قال حدثنا
الوليد بن مسلم قال حدثني المفضل ابن فضاله عن عياش بن عباس عن بكاير ابن عشج عن
نفيع عن ابن عمر عن حفصة زوج النّبيّ صلّيى الله عليه وسلم قال: رواح الجمعة واجب
على كلّ محتلم.
Dalam Hadis di atas, Hasbi memperjelas ke umuman yang ada dalam
ayat Alqur’an di atas yaitu pada kalimat allazhi na amanu dengan kekhususan yang
terdapat dalam Hadis tersebut yaitu kalimat kulli muhtalim, yaitu setiap orang yang sudah bermimpi, artinya semua orang yang
beriman yang sudah balig baik laki- laki maupun perempuan, safar atau tidak dan
sakit atau sehat. Dari ayat dan hadis di atas Hasbi berkesimpulan, semua orang yang beriman yang sudah balig,
baik laki- maupun perempuan wajib melaksanakan Jumat dimanapun ia berada.
Kemudian juga Hasbi sebagai pendukung pendapatnya mengutip Hadis Abu Daud ,
andai hadis ini disepakati sebagai hadis sahih, yaitu.
حدثنا عباس بن عبدالعظيم,حدثني إسحاق بن منصور
ناهريم, عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر,عن قيس بن مسلم ,عن طارق بن شهاب, عن النبي
صلى الله عليه وسلم قال: الجمعة حق واجب على كلّ مسلم فى جماعة إلاّ أربعة: عبد مملوك أو امرأة أو صبيّ أو مريض.
Dalam Hadis diatas, Hasbi memahami bahwa kewajiban salat Jumat
kepada semua orang Islam, baik dilakukan sendiri- sendiri maupun secara
berjama’ah. Dalam hadis diatas pula terdapat umum yaitu pada kalimat كلّ
مسلم ,
yang mengandung pengertian bahwa wajib bagi semua orang islam salat Jumat
berjama’ah, karena salat Jumat yang muthlaq disini ada dikaidkan dengan lafadh فى جماعة, sehingga jelas dapat dipahami, bahwa sesungguhnya salat Jumat
wajib dalam keadaan Jam’ah juga kepada semua pihak.
Keumuman kalimat tersebut ditakhsis oleh kalimat إلاّ
, sehingga kewajiban salat Jumat berjama’ah tidak wajib lagi kepada empat orang
tersebut. Juga dalam Hadis diatas, menurut Hasbi adalah pengecualian disini
merupakan pengecualian (istisna)
kewajiban salat Jumat dalam bentuk yang jama’ah, bukan pengecualian pada kewajiban salat Jumat tanpa melihat kaitannya
dengan jama’ah. Maka kepada hamba, perempuan dan lainya adalah masih diwajibkan
salat Jumat tanpa berjama’ah, sebagaimana
berkata sebahagian ulama
bahwa bagi hamba wajib Jum’at, seperti Hasan, Qatadah, Auza’i dan juga Daud (Abi Zakaria Mahyiddin ibn Syaraf an-
Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab lil Syairazy, juz
I, ttp: 351). Sebagaimana
Hasbi katakan dalam pedoman shalat;
Memberi
pengertian, bahwa mereka yang empat ini, tidak wajib menghadiri jama’ah Jumat,
bukan tidak wajib Jumat. Budak yang dimiliki berbimbang dengan melayani
kebutuhan- kebutuhan tuannya, wanita
berbimbang dengan melayani rumah tangganya, anak kecil belum lagi ditaklifkan dan orang sakit karena kesukaran
menghadirinya. Masih menurut Hasbi, tidak ada Hadis yang tegas menyatakan bahwa
yang diwajibkan atas, budak, atas wanita, atas orang sakit, pada hari Jumat
adalah salat Zuhur. Secara ringkas, menghadiri jama’ah Jumat di mesjid suatu
tugas yang berdiri sendiri (Ash- Shiddieqy, Pedoman Shalat: 401).
Karena ayat dan hadis diatas tidak membicarakan tentang jumlah
rakaatnya, maka juga mengandung pengertian umum dari segi jumlah raka’atnya.
Maka kemudian lebih lanjut Hasbi
mengatakan, bahwa salat Jumat adalah dua raka’at, sebagaimana dipahami dalam hadis dibawah ini,
yaitu hadis Umar yang diriwayatkan oleh
Ahmad, an Nasai, Ibn Majah, Ibn Hibban dan Baihaqi:
حدثنا
وكيع حدثنا سفيان, و عبد الرّحمن,عن سفيان,عن زبيد الايام, عن عبدالرّحمن بن أبي
ليلى,عن عمر قال: صلاة السفر ركعتان, صلاةالاضحى ركعتان, وصلاة الفطر ركعتان,
وصلاةالجمعة ركعتان تمام غير قصر على لسان محمد صلّى الله عليه وسلّم.
Hadis ini secara tegas mentakhsiskan (menjelaskan)
keumuman ayat diatas bahwa sesungguhnya salat Jumat adalah utuh dua raka’at,
bukan lantaran dipendekkan. Ini memberi pengertian bahwa bahwa salat Jumat
merupakan salat asal bukan mubaddil, sebagaimana telah disinggung.
Dari hasil penelusuran yang telah penulis lakukan selama ini dan
telah dipaparkan dibelakang, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Hakikat salat Jumat Hasbi yang sepakat dengan Muqabil Jumhur
berbeda dengan Jumhur Ulama. Menurut Hasbi salat Jumat dua raka’at adalah salat
asal, bukan sebagai salat pengganti salat Zuhur. Bahwa salat Jumat merupakan kewajiban semua
mukallaf yang sudah balig dan berakal, laki- laki dan perempuan serta
berjama’ah bukan syarat sahnya Jumat, akan tetapi kewajiban jama’ah merupakan
yang diwajibkan tersendiri.
2.
Dasar Hasbi melakukan penalaran hukum Khususnya pada masalah Salat
Jumat adalah memakai Metode Bayani, artinya telaah teks, seperti pemahaman
lafadh Am, Khas, Muthlaq dan Muqayyad.
3.
Faktor- faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara Hasbi
dan Jumhur Ulama, adalah :
a.
Berbeda pemahaman ayat dan
hadis sebagai dasar hukum wajib asal (
menurut Hasbi) dengan wajib mubaddil (
menurut Jumhur Ulama).
b.
Berbeda pemahaman umum dalil dengan Jumhur, seperti pemakaian Hadis
Bukhari, salah satu yang menjadi dalil wajib jama’ah versi Jumhur artinya”
Salatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku salat”.
c.
Berbeda pemahaman tentang istisna sebagai alat takhsis pada Hadis riwayat Abu Daud sebagai dalil
wajib Jumat menurut Jumhur, dalil tidak wajib Jama’ah bagi perempuan beserta
hamba dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Usul al-Fiqh . Kuwait: Dar
al-Qalam, 1972.
___________________, Ilmu Ushul Fiqh: Kaidah Hukum Islam, terj Faiz
el Muttaqin . Jakarta: Pustaka Amani, 2003.
Abi
Daud Sulaiman Ibn Asy ‘asy as- Sajastany, Sunan Abi Daud. Riayadh:
Pustaka Ma’arif , ttp.
Abi Daud Sulaiman Ibn Asy ‘asy As- sajastany, Sunan Abi Daud.
Riayadh: Pustaka Ma’arif , ttp.
Abi Zakaria Mahyiddin ibn Syaraf an-
Nawawi,
Majmu’ Syarah Muhazzab lil Syairazy, juz
I,
Jeddah:
Maktabah al- Irsyad, ttp.
Ahmad
Ibn Muhammad Ibn Hanbali, Musnad lil Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal,
juz II, Cet I. Kairo: Darul Hadis, 1416
M/ 1995 H.
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbali, Musnad lil Imam Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Hanbal, juz II, Cet I .
Kairo: Darul Hadis, 1416 M/ 1995 H.
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbali, Musnad
lil Imam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal, juz II,
Cet I. Kairo: Dar al- Hadis, 1416 M/ 1995 H.
Alyasa’ Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian
Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab .
Jakarta: INIS, 1998.
Alyasa’
Abubakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan Terhadap
Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab . Jakarta: INIS, 1998.
Departemen Agama Republik
Indonesia, Alqur’an dan terjemahannya, edisi baru .Semarang : CV. Toha Putra, 1989.
Departemen
AgamaRepublik Indonesia
, Alqur’an dan
Terjemahannya (Semarang: CV. Toha
Putra, 1989), h. 298.
Hujjatul Islam,Hukum Salat Zuhur dihari Jumat, Koran Republika, Ahad tanggal 22 Nov 2009.
Imam Abi Abdurrahman Ahmad ibn Syu’aib an- Nasai, Kitab Sunan
Kubra, juz II . Beirut: Muasisah Ar- Risalah, 2001 M/ 1421 H.
Imam Abi Abdurrahman Ahmad ibn Syu’aib an- Nasai, Kitab Sunan Kubra,
juz II . Beirut: Muasisah
Ar- Risalah, 2001 M/ 1421 H.
Imam Abu Qadhi Abu Walid Muhammad ibn Ahmad Ibn Rusydi Al Qurthuby
al Andalusy, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid . Beirut: Darul
Kutub al-Islamiyah, t.tp.
Muhammad
Abed al- jabiri, Takwin al Aql al-‘ Arabi, Formasi Nalar Arab, terj Imam
Khoiri .Yogyakarta: IRCisSoD, 2003.
Muhammad
Hasbi ash- Shiddieqy, Koleksi Hadis- Hadis Hukum, jil II . Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2011.
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, penggagas dan gagasannya
biografi, perjuangan dan pemikiran Teungku Muhammad Hasbi ash- Shiddieqy, cet I . Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997.
Nouruzzaman Ash-Shiddieqy, Fikih Indonesia . Yogyakarka:
Pustaka Pelajar, 2001.
Satria Effendi M Zein, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2008.
Sibaiwi, Hermeneutika
Al Quran Fazlur Rahman, cet I . Bandung: jalasutra, 2007.
Syahrial, Metode Ijtihad T.M Hasbi Ash Shiddieqy dalam Iskandar
Usman, et. al., T.M Hasbi ash- Shiddieqy dan Pembaharuan Pemikiran Islam
Indonesia. Banda Aceh: Ar Raniry Press Banda Aceh, 2004.
T.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat .Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tuntunan
Shalat Nabi saw. Sebuah Panduan Praktis. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2005.
Teungku Hasbi Ash- Shiddieqy, Kuliah
Ibadah, Ibadah di Tinjau dari Segi Hukum dan Hikmah . Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2010.
Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al Bayan Tafsif Penjelas Alqura’nul Karim . Semarang: Pustaka Rizki putra, 2002.
Tgk. H. Fuad Hasbi, salah
satu anak laki Hasbi yang keempat (bungsu), sekarang sudah berumur 74
tahun, Wawancara di gedung Yayasan Tgk.
Hasbi ash- shiddieqy di Moun Geudong Kota Lhoekseumawe, tanggal 19 April 2012.
TM. Hasbi Ash- Shiddieqy, Hukum- hukum Fiqh Islam .
Yogyakarta: Bulan Bintang, 1970.