Banyak orang yang tau keistimewaan 10 malam terakhir Ramadhan, tetapi banyak juga orang yang mengabaikannya...
berikut sedikit penjelasan tentang keistimewaan 10 malam terakhir ramadhan..
Nabi Muhammad (saw) menggunakan masing-masing hari
untuk memperkuat ibadah beliau. Dia mengerahkan segala yang ada dalam dirinya
untuk ibadah selama sepuluh malam itu melebihi malam-malam yang lain.
Aisyah memberitahu kita: "Selama sepuluh malam
terakhir bulan Ramadhan, Nabi (saw) akan memperketat ikat pinggang dan
menghabiskan malam dalam ibadah. Dia juga membangunkan keluarganya.." (Al
Bukhari)
Ketika kita mengatakan bahwa Nabi Muhammad
menghabiskan sepanjang malam dalam ibadah, kita harus memenuhi syarat. Hal ini
karena ia akan menghabiskan waktu makan malam, mengambil pra-fajar makanannya,
dan kegiatan lainnya. Namun, ia akan menghabiskan sebagian malam dalam ibadah.
Timbul pertanyaan mengapa demikian? Mengapa Nabi
SAW mendorong umatnya untuk melipatgandakan ibadah dalam waktu tersebut?
Jawabnya singkat, karena pada malam-malam bulan Ramadhan tersebut, terutama pada
malam-malam yang ganjil terdapat malam Lailatul qadar, malam kemuliaan yang
sangat istimewa yang semua orang berlomba memburunya, yaitu malam yang lebih
baik dari seribu bulan, sebagai bonus hadiah Tuhan bagi orang yang ikhlas
mengabdi kepada-Nya.
Lailatul qadar ibarat benda elok yang sangat indah
namun langka, tak heran jika tak mudah meraihnya, karena mahal harga belinya.
Malam kemuliaan tersebut hanya dapat dibeli dengan pengorbanan jiwa raga,
dengan amalan-amalan ibadah yang telah dituntun oleh Agama sepertimelakukan
qiyamullail, berpuasa sesuai tuntunan, tilawah dan tadarus Al-Quran dengan
tadabbur, berdoa, zikir, memperbanyak istighfar, muhasabah diri, perbanyak
sedekah serta amalan ma’ruf lainnya untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat
pada umumnya.
Lailatul qadar dirahasiakan, jelas sesuatu yang
mahal dan langka tentu dirahasiakan dan tidak diobral, agar umat semangat
berlomba memburunya, dan agar ibadat tidak hanya dilakukan pada waktu tertentu
saja, namun pengabdian haruslah langgeng terus dilakukan semasih hayat masih
kandung badan.
I’TIKAF
Hakikatnya, I’tikaf adalah memisahkan diri untuk
sementara waktu dari hiru biru kemelut kehidupan beragam di tengah masyarakat
dan membenamkan diri dalam kehidupan beragama yang focus, dan dilakukan dengan
berdiam diri di Masjid. Intinya adalah konsentrasi meningkatkan ketaqwaan.
Makna I’tikaf secara syariat adalah :
mendiami Masjid dan menetap di dalamnya dengan niat
bertaqorrub kepada Alloh Ta’ala.
Disyariatkannya I'tikaf :
Para ulama bersepakat akan pensyariatannya. ”Karena
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam dulu pernah beri’tikaf pada sepuluh akhir
bulan Ramadhan sampai Alloh Azza wa Jalla mewafatkan beliau. Kemudian
isteri-isteri beliau beri’tikaf setelah wafatnya beliau.”
Fadhilah ( keutamaan ) I'tikaf :
Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukan
anda hadits yang menunjukkan keutamaan I'tikaf? Ahmad menjawab : tidak kecuali
hadits lemah. Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah I'tikaf itu
sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keuatamaanya bahwa
Rasulullah SAW, para shahabat, para istri Rasulullah SAW dan para ulama'
salafus sholeh senantiasa melakukan ibadah ini.
Macam-macam
i’tikaf :
a. I’tikaf yang wajib : yaitu apabila seseorang
mewajibkan atas dirinya untuk melakukannya dengan sebab nadzar.
b. I’tikaf yang sunnah : yaitu apabila seorang
muslim melaksanakannya dengan maksud mendekatkan diri kepada Alloh dan
meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam. Ditekankan pelaksanannya
pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.
Waktu
i’tikaf :
”Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam apabila
bermaksud untuk melaksanakan i’tikaf, beliau sholat fajar lalu memasuki tempat
i’tikaf beliau.” (muttafaq ’alaihi) [Yaitu pada pagi hari kesepuluh bulan
Ramadhan]. ”Nabi pernah beri’tikaf pada sepuluh hari dibulan Syawwal.”
(muttafaq ’alayhi).
Syarat mu’takif (orang yang beri’tikaf) :
Dia haruslah seorang yang mumayyiz (berakal sehat
dan baligh) dan suci dari janabat, haidh dan nifas.
Rukun I’tikaf
:
Menetap di masjid dengan niat mendekatkan diri
kepada Alloh Ta’ala. Disini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat
i'tikaf . Sebagian ulama membolehkan i'tikaf disetiap masjid yang dipakai
shalat berjama'ah lima waktu. Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar
masjid dan untuk menjaga pelaksanaan shalat jama'ah setiap waktu. Ulama lain
mensyaratkan agar i'tikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai buat shalat
jum'at, sehingga orang yang i'tikaf tidak perlu meninggalkan tempat i'tikafnya
menuju masjid lain untuk shalat jum'at. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama
Syafi'iyah bahwa yang afdhol yaitu i'tikaf di masjid jami', karena Rasulullah
SAW i'tikaf di masjid jami'. Lebih afdhol di tiga masjid; masjid al-Haram,
masjij Nabawi, dan masjid Aqsho.
Awal dan
akhir I'tikaf :
Khusus i'tikaf Ramadhan waktunya dimulai sebelum
terbenam matahari malam ke 21. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : "
Barangsiapa yang ingin i'tikaf dengan ku, hendaklah ia beri'tikaf pada 10 hari
terakhir Ramadhan (HR. Bukhori). 10 (sepuluh) disini adalah jumlah malam,
sedangkan malam pertama dari sepuluh itu adalah malam ke 21 atau 20. Adapun
waktu keluarnya atau berakhirnya, kalau i'tikaf dilakukan 10 malam terakhir,
yaitu setelah terbenam matahari, hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi
beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah
menuggu sampai shalat ied.
Yang
dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf :
Ø
Keluar dari tempat i’tikaf-nya untuk
mengantarkan keluarganya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
terhadap istrinya Shofiyah ra. (HR. Riwayat Bukhori Muslim)
Ø
Menyisir rambut, mencukur rambut, menggunting
kuku, membersihkan badan (mandi), berparfum dan menggunakan pakaian yang bagus.
Ø
Keluar dari masjid untuk menunaikan hajat yang
mendesak, seperti buang air besar dan kecil, makan dan minum apabila tidak ada
yang mengantarkan makanannya.
Ø
Bagi seorang yang beri’tikaf, ia haruslah makan,
minum dan tidur di Masjid dengan tetap harus menjaga kebersihannya.
Etika di
dalam I’tikaf :
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha beliau berkata :
”Tuntunan di dalam i’tikaf yaitu tidak keluar kecuali untuk menunaikan hajat
yang mendesak, tidak mengunjungi orang sakit, tidak menyentuh dan berkumpul
(jima’) dengan isterinya, dan tidak ada i’tikaf kecuali di Masjid Jama’ah. Juga
merupakan tuntunan adalah bagi orang yang beri’tikaf tetap harus berpuasa.”
(Shahih, HR al-Baihaqi).
Yang
membatalkan i’tikaf :
ü
Jima’ (bersetubuh dengan istri) (QS. 2: 187).
Akan tetapi memegang tanpa syahwat, tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan
Nabi dengan istri-istrinya
ü
Keluar dari masjid tanpa ada keperluan secara
sengaja.
ü
Hilangnya ingatan karena gila atau mabuk
ü
Mengalami haidh dan nifas
ü
Pergi shalat jum'at ( bagi mereka yang
membolehkan i'tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat jum'at)
Yang
disunnahkah bagi mu’takif :
Memperbanyak ibadah-ibadah nafilah seperti sholat,
membaca Al-Qur`an, berdzikir dan membaca buku-buku agama. Termasuk juga
didalamnya pengajian, ceramah, ta'lim, diskusi ilmiah, tela'ah buku tafsir,
hadits, siroh dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama
adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala aktifitas
ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.
Yang dibenci
bagi mu’takif :
Menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang tidak
bermanfaat baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan menahan diri dari
berbicara dengan anggapan hal ini sebagai pendekatan diri kepada Alloh. [Lihat
Fiqhus Sunnah].
I'tikaf bagi
Muslimah :
I'tkaf disunnahkan bagi wanita sebagaimana
disunnahkan bagi pria. Selain syarat-syarat yang disebutkan tadi, i'tikaf bagi
kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat antara lain Mendapat izin (ridlo)
suami atau orang tua. Hal itu disebabkan karena ketinggian hak suami bagi istri
yang wajib ditaati, dan juga dalam rangka menghindari fitnah yang mungkin
terjadi.
Tempat i'tikaf wanita agar memenuhi kriteria
syari'at : Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syarat i'tikaf
adalah masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid
yang dapat dipakai wanita beri'tikaf. Tetapi yang lebih afdhol "wallahu 'alam" ialah tempat shalat
di rumahnya. Oleh karena bagi wanita tempat shalat dirumahnya lebih afdhol dari
masjid wilayahnya. Dan masjid di wilayahnya lebih afdhol dari masjid raya.
Selain itu lebih seiring dengan tujuan umum syari'at Islamiyah, untuk
menghindarkan wanita semaksimal mungkin dari tempat keramaian kaum pria,
seperti tempat ibadah di masjid. Itulah sebabnya wanita tidak diwajibkan shalat
jum'at dan shalat jama'ah di masjid. Dan seandainya ke masjid ia harus berada
di belakang. Kalau demikian, maka i'tikaf yang justru membutuhkan waktu lama di
masjid , seperti tidur, makan, minum, dan sebagainya lebih dipertimbangkan. Ini
tidak berarti i'tikaf bagi wanita tidak diperboleh di masjid. Wanita bisa saja
i'tikaf di masjid dan bahkan lebih afdhol apabila masjid tersebut menempel
dengan rumahnya, jama'ahnya hanya wanita, terdapat tempat buang air dan kamar
mandi khusus dan sebagainya.
Pada bulan Ramadhan yang penuh berkah mari kita
kunjungi Masjid untuk beri’tikaf. Meluangkan sedikit waktu dalam hidup kita
untuk lebih mendekatkan diri kepada Khaliq. Memuji kebesaran-Nya dan merenungi
ke mahakuasaan-Nya. Memohon ampunan atas segala aktivitas kita yang telah
banyak melalaikan sebagian seruan-seruan-Nya. Berdo’a agar umat Islam di
manapun berada diberi kesabaran, ketabahan, serta kekuatan dalam memecahkan
segala permasalahan hidupnya yang sangat kompleks.
I’tikaf pada dasarnya dapat dilakukan kapan saja
dan dalam waktu berapa lama yang disediakan. Imam Syafi’i menyebutkan bahwa
i’tikaf sudah tercapai dengan cara berdiam di Masjid beberapa saat dengan niat
yang suci dan tulus ikhlas karena Allah SWT.
Di dalam peri hidup Rasulullah SAW. diceritakan
bahwa baginda Rasulullah SAW selalu melakukan i’tikaf pada sepuluh hari dan
malam terakhir bulan Ramadhan. Ketika itu baginda Rasulullah SAW memperbanyak membaca
Alquran, serta berdo'a kepada Allah SWT.
Anjuran i’tikaf di malam-malam akhir Ramadhan ini
berkaitan erat dengan datangnya Lailatul Qadar yaitu malam kemuliaan, karena
beribadah pada malam itu dinilai lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah SAW
bersabda: “Carilah (malam qadar) itu pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan”
(HR. Ahmad dan Bukhari)
Malam Qadar itu wajar saja di tunggu-tunggu oleh
setiap muslim yang mendambakan kebaikan dan kebahagiaan dalam hidup di dunia
dan akhirat. Namun perlu diingat bahwa Lailatul qadar hanya akan datang
mengunjungi seseorang pada tingkat kesucian akhlak dan spritualitas yang
terjaga baik.
Hikmah dibalik dianjurkannya ummat Islam
ber-i’tikaf di bulan Ramadhan. Luar biasa ! I’tikaf adalah saat dimana ummat
Islam benar-benar merasakan nilai persaudaraan. Melihat saudara-saudaranya
datang dari segala penjuru (biasanya terjadi di Masjid-masjid Besar), dengan
berbagai macam karakteristiknya. Perbedaan khilafiyah tidak menjadikan alasan
mereka untuk tidak bersatu. Semua merasakan larut dalam nuansa taqarrub kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tentu keutamaan yang paling utama adalah, Allah
Subhanahu Wa Ta’ala akan menurunkan malam Laylatul Qadr pada salah satu di
antara sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya :
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada
suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan
[44]: 3-4)
Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam
lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala
berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam
kemuliaan.” (QS. Al Qadar [97]: 1)
Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan
dalam ayat selanjutnya, “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada
malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya
untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”
(QS. Al Qadar [97] : 3-5)
Di lihat dari waktu datangnya lailatul qadar itu
bukan di awal, melainkan di akhir Ramadhan. Didapat pelajaran besar bagi umat
Islam bahwa menjelang berakhirnya puasa Ramadhan, tentu umat akan mencapai
tingkat kematangan dan kesempurnaan jiwa, melalui ibadah puasa yang telah
dilakukan. Umat muslim memiliki kesiapan mental untuk menerima kehadiran malam
kemuliaan yang agung itu.
Dari sisi tempat penyambutannya adalah di Masjid
dengan melakukan i’tikaf sebagai kegiatan ibadah menyambut datangnya lailatul
qadar itu. Masjid adalah tempat suci yang diungkap dengan sebutan Bait Allah
(rumah Allah) sebagai tempat dilakukan berbagai kebajikan. Masjid adalah tempat
melepaskan diri dari berbagai hiruk-pikuk kehidupan dunia yang menyesakkan, dan
meraih pencerahan iman dan rohani umat muslimin.
Sesungguhnya ibadah puasa dengan i’tikaf yang
intensif pada sepuluh hari terakhir Ramadhan akan dapat mengantar umat Islam
meraih lailatul qadar itu. Makna terkandung dalam lailatul qadar adalah
perubahan hidup dari kegelapan menuju kehidupan yang terang-benderang di bawah
petunjuk hidayah Allah SWT.
Melaksanakan i’tikaf adalah suatu ibadah sangat
terpuji. Rasulullah SAW. bersabda: “Siapa yang beri’tikaf sehari demi
mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala semata, maka Allah benkenan membuat antara
dia dan api (neraka) tiga buah parit, tiap parit lebih jauh dari masyriq dan
maghrib” (HR. Thabrani).
Melihat kesungguhan Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wa Sallam, jelas sangat kontradiktif
dengan kondisi ummat muslim saat ini. Menjelang hari Raya ‘Idul Fitri, sungguh
keramaian malah terjadi di Departement Store, pusat-pusat perbelanjaan. Para
ibu sibuk memikirkan ‘suguhan‘ di hari Raya. Padahal dari kedua buah hadits
testimoni ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas, sangat jelas: Rasulullah
Shalallahu ‘Alayhi Wa Sallam semakin
sibuk dengan aktifitas ibadahnya. Tilawatil (membaca) Qur’an, Shalat, Dzikr,
Sedekah, Taqarrub dan bermunajat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Larut dalam
nuansa ketenangan dan kesungguhan.
Merugilah kita yang luput dari peningkatan ibadah
pada hari-hari sepuluh terakhir ini. Kebahagiaan mukmin sebenarnya bukan hanya
karena akan mendapatkan bonus pahala lailatul qadar dan sejenisnya, namun
kebahagiaan mukmin adalah saat dirinya mengabdi, mohon ampun, berserah dan
tunduk kepada pencipta-Nya, karena itulah nikmat besar yang tiada taranya!
Semoga Bermanfaat.......