Keep Share what i can find for you all netizen

Advertisement

Saturday 10 November 2012

Ketentuan dan Srarat-Syarat Sah Serta Macam-macam Jual-Beli dalam Islam



Islam adalah agama yang sempurna, datang dengan mengatur hubungan antara Sang Khaliq (Allah SWT) dan makhluk, dalam ibadah untuk membersihkan jiwa dan mensucikan hati. Dan (Islam) datang dengan mengatur hubungan di antara sesama makhluk, sebagian mereka bersama sebagian yang lain, seperti jual beli, nikah, warisan, had dan yang lainnya agar manusia hidup bersaudara di dalam rasa damai, adil dan kasih sayang.
v  Aqad (transaksi) terbagi tiga:
  1. Aqad pertukaran secara murni, seperti jual beli, sewa-menyewa, dan syarikat (perseroan) dan semisalnya.
  2.  Aqad pemberian secara murni, seperti hibah (pemberian), sedekah, pinjaman, jaminan, dan semisalnya.
  3.  Aqad pemberian dan pertukaran secara bersama-sama, seperti qardh (hutang), maka ia termasuk pemberian karena ia dalam makna sedekah, dan pertukaran di mana ia dikembalikan dengan  semisalnya.
v  Bai' (jual-beli): yaitu pertukaran harta dengan harta untuk dimiliki.
Seorang muslim bekerja dalam bidang apapun jenis usahanya adalah untuk menegakkan perintah Allah SWT dalam pekerjaan itu, dan untuk mendapatkan ridha Rabb SWT dengan menjunjung perintah-perintah-Nya dan menghidupkan sunnah Rasul SAW dalam amal ibadah tersebut, dan melaksanakan sebab-sebab yang diperintahkan dengannya. Kemudian Allah SWT memberikan rizqi yang baik kepadanya dan memberi taufik kepadanya untuk menggunakannya dalam penyaluran yang baik.
v  Hikmah disyareatkannya jual beli:
Manakala uang, komoditi, dan harta benda tersebar di antara manusia seluruhnya, dan kebutuhan manusia bergantung dengan apa yang ada di tangan temannya, dan ia tidak memberikannya tanpa ada imbalan/pertukaran.
Dan dibolehkannya jual beli, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari untuk mencapai  tujuan hidupnya. Dan jika tidak demikian, niscaya manusia akan saling merampas, mencuri, melakukan tipu daya, dan saling membunuh.
Karena alasan inilah, Allah SWT menghalalkan jual beli untuk merealisasikan kemashlahatan dan memadamkan kejahatan tersebut. Jual beli itu hukumnya boleh dengan ijma' (konsensus) semua ulama. Firman Allah SWT:
﴿ ......... وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ ........ ﴾ [البقرة: ٢٧٥] 
"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…"   (QS. Al-Baqarah: 275).

v  Syarat sah jual-beli:
  1. Sama-sama ridha baik penjual maupun pembeli, kecuali orang yang dipaksa dengan kebenaran.
  2. Bahwa boleh melakukan transaksi, yaitu dengan syarat keduanya orang yang merdeka, mukallaf, lagi cerdas.
  3.  Yang dijual adalah yang boleh diambil manfaatnya secara mutlak (absolut). Maka tidak boleh menjual yang tidak ada manfaatnya, seperti nyamuk dan jangkerik. Dan tidak boleh pula yang manfaatnya diharamkan seperti arak dan babi. Dan tidak boleh pula sesuatu yang mengandung manfaat yang tidak dibolehkan kecuali saat terpaksa, seperti anjing dan bangkai kecuali belalang dan ikan.
  4. Bahwa yang dijual adalah milik sang penjual, atau diijinkan baginya menjualnya saat transaksi.
  5. Bahwa yang dijual sudah diketahui bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi dengan melihat atau dengan sifat.
  6. Bahwa harganya sudah diketahui.
  7. Bahwa yang dijual itu sesuatu yang bisa diserahkan, maka tidak boleh menjual ikan yang ada di laut, atau burung yang ada di udara, dan semisal keduanya, karena adanya unsur penipuan. Dan syarat-syarat ini untuk menampik kedzaliman, penipuan, dan riba dari kedua belah pihak.
v  Terjadi transaksi jual beli dengan salah satu dari dua sifat:
  1. Ucapan: seperti penjual berkata, 'Aku menjual kepadamu.' Atau 'Aku memilikkannya kepadamu,' atau semisal keduanya. Dan pembeli berkata, 'Aku membeli' atau 'aku menerima' dan semisal keduanya yang sudah dikenal masyarakat secara umum.
  2. Perbuatan: yaitu pemberian, seperti ia (seseorang) berkata, 'Berikanlah kepadaku daging seharga sepuluh ribu rupiah', lalu ia memberikannya tanpa ucapan dan semisal yang demikian itu yang sudah berlaku umum, apabila terjadi saling senang (dengan transaksi itu).
v  Keutamaan toleransi (bermurah hati) dalam jual beli:
Seharusnya manusia bersifat toleransi lagi mudah, sehingga ia mendapat rahmat Allah SWT. Dari Jabir bin Abdullah r.a, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
رَحِمَ اللهُ  رَجُلاً سَمْحًا اِذَا بَاعَ وَاِذَا اشْتَرَى وَاِذَا اقْتَضَى.
"Semoga Allah SWT memberi rahmat kepada seseorang yang toleransi (bermurah hati), apabila menjual, membeli, dan apabila membayar." (HR. Bukhari). 1
v  Bahaya banyak bersumpah dalam jual beli:
Bersumpah dalam jual beli ada kalanya menjadikan laris komoditi (barang dagangan), akan tetapi menghapuskan keberkahan. Dan Nabi SAW telah melarang darinya dengan sabdanya:
اِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحِلْفِ فِى الْبَيْعِ فَاِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ يَمْحَقُ.
"Jauhilah banyak bersumpah dalam jual beli, sesungguhnya ia menjadikan laris, kemudian menghapus (keberkahan)." (HR. Muslim). 2
Kejujuran dalam jual beli merupakan penyebab keberkahan, dan bohong penyebab hilangnya berkah.
v  Gambaran-gambaran jual beli yang diharamkan:
Islam membolehkan segala sesuatu yang membawa kebaikan, berkah, dan manfaat yang dibolehkan, dan mengharamkan sebagian jual beli dan golongan, karena pada sebagiannya terdapat jahalah (ketidak-tahuan) dan penipuan, atau merusak pasar, atau menyesakkan dada, atau kepalsuan dan kebohongan, atau bahaya terhadap badan, akal dan semisalnya yang menyebabkan sifat dendam, pertikaian, pertengkaran, dan bahaya.
Maka diharamkan jual beli tersebut dan hukumnya tidak sah, di antaranya adalah:
  1. Jual beli mulamasah (sentuhan): seperti penjual berkata kepada pembeli, umpamanya: pakaian apapun yang kamu sentuh, maka ia untukmu dengan harga sepuluh. Ini adalah jual beli yang rusak karena adanya ketidak tahuan dan penipuan.
  2.  Jual beli munabadzah (lemparan): seperti pembeli berkata kepada penjual: pakaian manapun yang engkau lempar kepadaku, maka ia untukku dengan harga sekian. Ini adalah jual beli yang rusak (tidak sah), karena adanya ketidaktahuan dan penipuan.
  3. Jual beli hashah (lemparan batu): seperti penjual berkata, 'Lemparkanlah batu ini, maka benda apapun yang kejatuhan batu itu, maka ia untukmu dengan harga sekian. Ini termasuk jual beli yang rusak karena adanya ketidak tahuan dan penipuan.
  4.  Jual beli najsy: yaitu menaikan harga komoditi (yang dilakukan) oleh orang yang tidak ingin membelinya. Ini adalah jual beli yang diharamkan, karena mengandung godaan kepada para pembeli yang lain dan penipuan kepada mereka.
  5. Penjualan oleh orang kota kepada orang desa: yaitu simsar (perantara, broker), yang menjual komoditi lebih mahal daripada harga saat itu. Jual beli ini tidak sah, karena mengandung mudharat dan penekanan terhadap manusia, akan tetapi bila penduduk desa yang datang kepadanya dan meminta darinya agar menjual atau membeli untuknya maka tidak apa-apa.
  6. Menjual komoditi sebelum menerimanya hukumnya tidak boleh, karena membawa kepada permusuhan dan perbatalan secara khusus apabila ia (penjual) melihat bahwa yang membeli akan mendapat keuntungan padanya.
  7.  Jual beli 'inah: yaitu menjual suatu komoditi secara bertempo, kemudian ia (penjual) membelinya lagi darinya (pembeli) dengan harga yang lebih murah secara kontan. Maka tergabunglah di dalamnya dua jual beli dalam satu transaksi. Jual beli ini haram dan batil, karena ia adalah sarana menuju riba. Jika ia membelinya setelah menerima harganya, atau setelah berubah sifatnya, atau dari selain pembelinya, hukumnya boleh.
  8. Penjualan seseorang atas penjualan saudaranya: seperti seseorang membeli suatu komoditi dengan harga sepuluh, dan sebelum selesai pembelian, datanglah orang lain seraya berkata, 'Aku menjual kepadamu barang yang sama dengan harga sembilan atau lebih murah dari harga yang engkau beli darinya,' dan sama juga pembelian, seperti seseorang berkata kepada orang yang menjual suatu komoditi dengan harga sepuluh (10), 'Aku membelinya darimu dengan harga lima belas (15),' agar orang pertama pergi dan menyerahkannya untuknya. Jual beli ini haram, karena mengandung mudharat kepada kaum muslimin dan mengobarkan kemarahan kepada yang lain.
  9. Jual beli setelah panggilan (azan)yang kedua pada shalat Jum'at, hukumnya haram dan tidak sah, demikian pula semua transaksi.
  10. Setiap yang haram, seperti arak, babi, patung, atau sarana kepada yang haram, seperti alat-alat musik, maka menjual dan membelinya hukumnya haram.
v  Dan termasuk jual beli yang diharamkan: jual beli hablul-habalah, jual beli malaqiih, yaitu sesuatu yang ada di perut induknya (ibunya), jual beli madhamiin, yaitu sesuatu yang ada di sulbi yang jantan, dhirab unta dan 'asab pejantan.
Dan diharamkan jual beli anjing, kucing, uang hasil pelacuran, hadiah untuk dukun, jual beli yang tidak diketahui, jual beli yang mengandung penipuan, jual beli yang tidak mampu menyerahkannya seperti burung yang terbang di udara, jual beli buah sebelum nyata baiknya, dan semisal yang demikian itu.
Apabila membeli secara bersama-sama (komunal) di antara dia dan orang lain, niscaya sah pada bagiannya, dan bagi pembeli boleh memilih jika ia tidak mengetahui keadaan.
v  Hukum jual beli yang mengandung penipuan dan judi:
Penipuan dan judi termasuk transaksi berbahaya serta menghancurkan sendi-sendi perekonomian, penyebab kebangkrutan perusahan besar, menyebabkan kayanya suatu kaum tanpa bersusah payah, dan kefakiran yang lain dengan cara yang batil. Maka ia adalah perbuatan haram, permusuhan, dan kebencian. Semua ini termasuk pekerjaan syetan. Firman Allah SWT:
﴿ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُوقِعَ بَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةَ وَٱلۡبَغۡضَآءَ فِي ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِ وَيَصُدَّكُمۡ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَعَنِ ٱلصَّلَوٰةِۖ فَهَلۡ أَنتُم مُّنتَهُونَ ٩١ ﴾ [المائ‍دة: ٩١] 
"Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu pada minuman keras dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)."    (QS. Al-Ma`idah: 91).

v  Jual beli gharar (penipuan) menyeret kepada dua kerusakan besar:
  1. Memakan harta manusia dengan cara batil, salah satunya boleh jadi berhutang tanpa keuntungan, atau beruntung tanpa berhutang, karena ia adalah gadaian dan judi.
  2. Permusuhan dan kebencian di antara dua pihak yang bertransaksi, akan menimbulkan dendam dan pertengkaran.

Referensi :
1.       HR. Bukhari No. 2076.
2.      HR. Muslim No. 1607

Sumber : Islam House
Oleh : Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri
Diterjemahkan : Team Indonesia islamhouse.com
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad & Mohammad Latif. Lc






Monday 17 September 2012

Mengapa Wanita Dilarang Menjadi Pemimpin...?


Kalau ada istilah imam, tentunya kosakata ini hanya ada dalam terminologi Islam saja, jadi maksudnya: bolehkah dalam pandangan hukum Islam berimam kepada wanita? Pengertiannya disini dalam konteks yang sangat luas tentunya. Paham dan pandangan seperti ini perlu kita diskusikan kembali, karena bagaimana pun, Indonesia rakytanya berpenduduk mayoritas muslim.
Dus, pemilih yang terlibat dalam pemilu pun mayoritas muslim yang harus mengetahui dasar-dasar pemilihan seorang imam/pemimpin, karena tak ada sebuah perbuatan pun yang tidak akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak di hadapan Allah swt.

MENGANGKAT SEORANG WANITA SEBAGAI SEBAGAI IMAM

Sepakat para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya "al-Jaami li ahkami al-Quran" mengatakan, Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara). Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita menjadi kepala negara.

Pertama, terdapat hadist shahih yang melarang wanita sebagai kepala negara. "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita (HR. Bukhari)". Lafadz "wallau amrahum" dalam hadist ini berarti mengangkat sebagai "waliyul amri" (pemegang tampuk pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadist ini memang merupakan komentar Rasulullah SAW tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan putri Kisra, Raja Persia.
Sekalipun teks hadist tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan dalam hadist ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan 'qarinah' (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat 'jazm' (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara PASTI hukumnya HARAM.
Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadist ini. Mereka menunjuk salah seorang perawi hadist ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khatab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang perawi (orang yang meriwayatkan) hadist seperti 'Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-Rijal, Thabaqat Ibnu Saad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir' menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh karena itu, dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadist tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara.
Disamping itu, ada juga yang menganggap bahwa larangan mengangkat wanita sebagai kepala
negara tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh karena, katanya, jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam, atau presiden bukanlah 'al-imamu al-adzam' sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam. Pendapat seperti ini  sangatlah lemah. Mengapa? Karena teks hadist di atas sudah menjawab dengan sendirinya. Buran, putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam kasus Buran, Rasulullah mengharamkan, apa bedanya dengan sistem presiden sekarang yang juga sama-sama bukan sistem pemerintahan Islam?

Kedua, di dalam al-Quran terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara. 'Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tetntang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), An-Nisa 59' Dalam ayat ini, perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz "ulil amri". Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab, bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan kata "uulatul umri".

Ketiga, didalam al-Quran terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita, (An-Nisa 34)". Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri "min baabi al-aula" (keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada laki-laki.

Keempat, dalam sejarah pemerintahan Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan wanita. Memang di Mesir pernah berkuasa seorang ratu bernama Syajaratuddur dari dinansti Mamalik. Tapi kekuasaan yang diperolehnya itu sekadar limpahan dari Malikus Shalih, penguasa ketika itu yang meninggal. Setelah tiga bulan berkuasa (jadi sifatnya sangat sementara dan relatif tidak diduga) akhirnya kekuasaan dipegang oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelas sekali tidak ada preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepala negara.

Kelima, kenyataan adanya presiden-presiden wanita di sejumlah negeri muslim (Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh) tidaklah cukup untuk menggugurkan larangan wanita menjabat kepala negara. Kenyataan di atas harus dipandang sebagai penyimpangan. Dan sebuah kenyataan bukanlah hukum, apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum itu sendiri. Sama seperti hukum shalat. Bila terlihat kenyataan cukup banyak di negeri ini orang tidak shalat, apakah lantas hukum shalat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib? Terhadap kenyataan yang menyalahi hukum Allah otomatis ia tidak bisa dijadikan pedoman bagi pembuatan dasar sebuah hukum atau pembenaran suatu tindakan bersangkutan. (Milist Sabili)



Saturday 1 September 2012

KEWAJIBAN MELAKSANAKAN SHALAT BERJAMAAH


Banyak orang yang meremehkan shalat berjamaah. Yang dijadikan alasan mereka adalah sikap tak acuh sebagian ulama terhadap masalah ini. Oleh karenanya, dalam tulisan ini saya merasa berkewajiban menjelaskannya karena sebenarnya masalah ini teramat penting.
Setiap muslim tidak dibenarkan meremehkan masalah yang dianggap penting oleh Allah Y (dalam Kitab suciNya) dan RasulNya.
Allah Y telah banyak menyebut kata  “shalat” dalam Al Qur’anul Karim. Ini menandakan begitu penting perkara ini. Allah Y telah memerintahkan kita untuk memelihara dan melaksanakan shalat dengan berjamaah.
Allah Y juga mengatakan bahwa meremehkan dan malas mengerjakan shalat berjamaah termasuk sifat orang munafik.dalam salah satu firmanNya:

] حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين [
Artinya : “ Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah(dalam shalatmu) dengan khusyu’.” ( Al Baqarah : 238)
Bagaimana seorang muslim dapat dikatakan orang yang memelihara dan mengagungkan shalat, bila ia tidak melakukan ( bahkan meremehkan) shalat berjamaah bersama rekan-rekannya.
Allah Y berfirman:

] وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين [
Artinya : “ Dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’( Al Baqarah : 43)
Ayat yang mulia ini merupakan nash tentang kewajiban shalat berjamaah. Pada awal ayat tersebut Allah Y sudah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat, ini berarti kita diperintahkan Allah untuk memelihara shalat berjamaah, bukan sekedar mengerjakan saja.
  
Dalam surat An Nisaa’, Allah berfirman yang artinya :
“ Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka( shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri ( shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka ( yang shalat besertamu ) sujud ( telah menyempurnakan serakaat ), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu ( untuk menghadapi musuh ) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat , lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata …” ( An Nisaa’ : 102)
Pada ayat di atas Allah Y mewajibkan kaum muslimin untuk mengerjakan shalat berjamaah dalam keadaan perang. Bagaimana bila dalam keadaan damai?!
Jika seorang muslim diperbolehkan meninggalkan shalat berjamaah ( oleh Allah ), tentu kaum muslimin lain yang tengah berbaris menghadapi serangan musuh dan yang paling terancam dibolehkan meninggalkan shalat berjamaah. Tetapi di dalam ayat di atas perintah Allah tidaklah demikian. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa shalat berjamaah merupakan kewajiban utama. Oleh karenanya tidak dibenarkan seorang muslim meninggalkan kewajiban tersebut.
Abu Hurairah t meriwayatkan bahwa Nabi r telah bersabda :

" لقد هممت أن آمر بالصلاة, فتقام ثم آمر رجلا أن يصلي بالناس، ثم أنطلق برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة، فأحرق عليهم بيوتهم "
Artinya : “ Aku berniat memerintahkan kaum muslimin untuk mendirikan shalat. Maka aku perintahkan seseorang untuk menjadi imam dan shalat bersama manusia. Kemudian aku berangkat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka.(HR. Bukhari Muslim)

Abdullah bin Mas’ud Ra berkata : “ Engkau telah melihat kami, tidaklah seseorang yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali ia seorang munafik yang diketahui nifaknya, atau seseorang yang sakit, bahkan seorang yang sakitpun berjalan ( dengan dipapah ) antara dua orang untuk mendatangi shalat ( shalat berjamaah di masjid ).” Abdullah bin Mas’ud lalu menegaskan, “ Rasulullah mengajarkan kita jalan-jalan hidayah, dan salah satu jalan hidayah itu adalah shalat di masjid ( shalat yang dikerjakan di masjid ).”( shahih muslim)

Abdullah bin Mas’ud Ra berkata : “ Barang siapa ingin bertemu Allah di hari akhir nanti dalam keadaan muslim, maka hendaklah memelihara semua shalat yang diserukanNya. Allah telah menetapkan kepada Nabi kalian jalan-jalan hidayah dan shalat itu termasuk jalan hidayah. Kalau kalian shalat di rumah berarti kalian telah meninggalkan jalan nabi kalian. Jika kalian meninggalkan jalan nabi kalian, maka pasti kalian akan sesat. Seorang lelaki yang bersuci dengan baik, kemudian menuju ke masjid, maka Allah Y menulis setiap langkahnya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajad, dan menghapus satu kejahatannya. Engkau telah melihat di kalangan kami, tidak pernah ada yang meninggalkan shalat ( berjamaah ). kecuali orang munafik yang sudah nyata dan jelas nifaknya. Perlu diketahui pernah ada seorang lelaki hadir dengan dituntun antara dua orang untuk didirikan di shaf.”
Dari Abu Hurairah Ra dikisahkan bahwa pernah ada seorang lelaki buta bertanya kepada Rasulullah r, “ Wahai Rasul Allah, aku tidak punya penuntun yang menggandengku ke masjid. Apakah aku mendapatkan kemurahan( dispensasi ) untuk shalat di rumah saja?” Rasulullah bertanya kepadanya : “ Apakah kamu mendengarkan adzan (seruan ) untuk shalat?” “ ya” jawab lelaki buta itu. Rasulullah lalu berkata dengan tegas, “ kalau begitu datangilah masjid untuk shalat berjamaah !”
Hadits yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan kewajiban melaksanakannya di rumah Allah sangat banyak.oleh karena itu setiap muslim wajib memperhatikan dan bersegera melaksanakannya. Juga wajib untuk memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya, keluarga, tetangga, dan seluruh teman-teman seaqidah agar mereka mengerjakan perintah Allah r dan perintah Rasul Nya agar mereka takut terhadap larangan Allah Y dan Rasul-Nya, dan agar mereka menjauhkan diri dari sifat-sifat orang munafik yang tercela, di antaranya sifat malas mengerjakan shalat. Allah Y telah berfirman yang artinya :

“ sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah , dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud untuk riya’( dengan shalat ) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali . mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian ( iman atau kafir ). Tidak masuk dalam galongan ini ( orang-orang yang beriman ) dan tidak ( pula ) kepada golongan itu ( orang-orang kafir ). Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan ( untuk memberi petunjuk) baginya.” ( An Nisaa’ : 142-143)
meninggalkan shalat berjamaah merupakan salah satu penyebab untuk meninggalkan shalat sama sekali. Dan perlu diketahui bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran dan keluar dari Islam. Ini berdasarkan sabda Nabi r :

" بين الرجل وبين الكفر والشرك ترك الصلاة "
Artinya : “ batas antara seseorang dengan kekafiran dan kemusyrikan adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim)

Rasulullah r bersabda :

قال رسول الله r : العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر.
Artinya : “ janji yang membatasi antara kita dan orang-orang kafir adalah shalat. Barang siapa meninggalkannya maka ia kafir.”

Setiap muslim wajib memelihara shalat pada waktunya, mengerjakan shalat sesuai dengan yang disyariatkan Allah, dan mengerjakannya secara berjamaah di rumah-rumah Allah. Seorang muslim wajib taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut akan murka dan siksa-Nya.
Apabila kebenaran telah tampak dan dalil-dalilnyapun jelas, maka siapapun tidak dibenarkan menyeleweng serta mengingkari dengan alasan menurut perkataan si fulan ini atau si fulan itu, karena Allah Y telah berfirman :

] فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر, ذلك خير وأحسن تأويلا [
Artinya : “ jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( sunnahnya ), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih  utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ( An Nisaa’: 59)
“ … maka hendaklah orang-orang yang menyalahi kehendaknya (Rasul ) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An- Nuur : 63)
tidak diragukan lagi,shalat berjamaah mempunyai beberapa hikmah serta kemaslahatan. Hikmah yang paling tampak adalah akan timbul di antara sesama muslim saling mengenal dan saling membantu untuk kebaikan, ketaqwaan, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran.
Hikmah lainnya adalah untuk memberi dorongan kepada orang yang meninggalkannya, dan memberi pengajaran kepada orang yang tidak tahu. Juga untuk menumbuhkan rasa tidak suka / membenci kemunafikan, untuk memperlihatkan syiar-syiar Allah di tengah-tengah hamba-hamba-Nya, dan sebagai dakwah lewat kata-kata serta perbuatan.
Semoga Allah Y melimpahkan taufiq-Nya kepada saya dan anda sekalian untuk mencapai ridha-nya serta perbaikan masalah dunia dan akhirat. Kami juga memohon perlindungan dari kejahatan-kejahatan diri serta amalan-amalan kami dan dari sifat-sifat yang menyerupai orang-orang kafir dan munafik. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.

PENULIS
SYEIKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZ
Dan
MUHAMMAD BIN SHALIH AL-‘UTSAIMIN

PENERJEMAH
ALI MAKHTUM ASSALAMY

 EDITOR
MUHAMMADUN ABD HAMID ABD WAHAB
MUH.MU’INUDINILLAH BASRI 




Wednesday 29 August 2012

Kewajban dan Tatacara Shalat Jum’at Menurut Al-Qur’an-Hadist dan Para Imam Mazhab


Sering kali kita menganggap meninggalkan shalat Jum'at itu hal yang biasa, aaaaah kan belum tiga kali, jadi belum di anggap kafir.... sobat sekalina mari kita simak/membaca artikel dibawah ini tentang kewajiban shalat jum'at. semoga menjadi renungan bagi kita semua...

Shalat Jumat disyariatkan di dalam Al-Quran Al-Kariem, As-sunnah an-Nabawiyah dan juga oleh Ijma` (kesepaktan) seluruh ulama. Sehingga siapa yang mengingkari kewajiban shalat jumat, maka dia kafir karena mengingkari Al-Quran dan As-Sunnah.

ü  Al-Quran

Di dalam Al-Quran, pensyariatan shalat jumat disebutkan di dakam sebuah surat khusus yang dinamakan dengan surat Al-Jumu`ah. Disana Allah telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jumat sebagai bagian dari kewajiban / fardhu `ain atas tiap-tiap muslim yang memenuhi syarat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu`ah : 9)

ü  Sunnah

Ada banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ مَمْلُوكٌ وَامْرَأَةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيضٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)
مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ
Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu `anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu Daud, Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu `anhu berkata bahwa mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar,"Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lupa".(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan riwayat di atas, meninggalkan shalat jum`at termasuk dosa-dosa besar. Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam kitabnya Ikmalul Mu`lim Bifawaidi Muslim berkata:
“Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat Jum`at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancamam, penutupan dan penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan), sedang yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana yang baik dan mana yang munkar”.

Ø Yang Diwajibkan
Kewajiban shalat jumat berlaku untuk semua umat Islam, dengan kriteria sebagai berikut : 
  1. Laki-laki, sedangkan wanita tidak diwajibkan untuk shalat jumat namun bila dia mengerjakan, maka kewajiban shalat zuhurnya telah gugur (tidak perlu shalat zhuhur lagi).
  2. Dalam keadaan sehat, sedangkan orang sakit tidak wajib shalat jumat. 
  3. Dewasa yaitu baligh, sedang anak-anak tidak wajib shalat jumat. 
  4. Muqimin yaitu orang yang menetap bukan musafir atau yang sedang dalam perjalanan. 
  5. Merdeka bukan hamba sahaya. Namun ulama berbeda pendapat tentang dua nomor terakhir itu, apakah termasuk atau tidak.
Ø Yang Tidak Diwajibkan 
Orang-orang berikut ini tidak diwajibkan shalat jumat berdasarkan dalil-dali yang shahih, yaitu : 
  1. Para budak 
  2. Wanita 
  3. Anak-anak 
  4. Orang Sakit 
  5. Musafir
Dalilnya adalah hadits nabi yang telah disebutkan di atas, yaitu :
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)

Ø Tempat Shalat Jumat
Pada dasarnya shalat jumat itu dilakukan di dalam masjid atau di dalam pusat pemukiman manusia. Bukan di hutan, padang pasir, pedalaman atau tempat-tempat yang sepi dari manusia.
Di masa Rasulullah SAW dulu, orang-orang yang tinggal di badiyah (luar kota) harus berjalan jauh untuk masuk ke Madinah untuk bisa ikut shalat Jumat. Sebab shalat jumat tidak wajib dilaksanakan di luar wilayah pemukiman yang dihuni masyarakat.
Disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah mengirim surat kepada penduduk Bahrain untuk melakukan shalat Jumat dimanapun .
Pada zaman kita sekarang ini bila mesjid penuh sedangkan jumlah orang yang akan melaksanakan shalat jumat tidak tertampung lagi, boleh membuat shalat jumat di tempat selain masjid. Dan memang secara statistik, jumlah masjid yang ada tidak mencukupi untuk menampung shalat seluruh kaum muslimin. Bila ada masjid nampak lengang, kemungkinan besar adalah kurangnya kesadaran masyarakat sekitar untuk melakukan shalat berjamaah. Jadi memang jumlah masjid itu kurang cukup dibandingkan dengan jumlah umat Islam.
Boleh memanfaatkan suatu ruangan sebagai tempat shalat jumat, asalkan tempat itu bersih dan suci. Boleh menggunakan aula, ruang pertemuan, gedung parkir dan ruangan-ruangan lain yang layak `disulap` menjadi masjid untuk shalat jumat.
Bahkan dalam kasus seperti itu, menurut sebagian pendapat, tempat itu untuk sementara waktu berubah hukumnya menjadi mesjid. Karena itu berlaku pula shalat sunnah dua rakaat tahiyatul masjid. Namun bila ada pendapat yang menolak hal ini, mungkin saja. Karena pendapat ini tidak mutlak kebenarannya, tetapi merupakan ijtihad para ulama berdasarkan mashlahat dan kepentingan umat.

Ø Jumlah Minimal Jama`ah
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunah menyebutkan paling tidak ada 15 pendapat yang berbeda dalam menetukan batas minimal jumlah jamaah dalam shalat Jumat .
Meski boleh tidak mencapai 40 orang, bukan berati setiap beberapa orang boleh menyelenggarakan sendiri-sendiri dengan 2 atau 3 orang. Bukan demikian pengertianya, tetapi bila memang tidak ada lagi orang muslim lainnya di suatu tempat.
Syeikh Ibnu Taimiyyah berpendapa bahwa shalat Jum`at boleh dilakukan oleh tiga orang; satu orang berkhutbah dan dua orang mendengarkan khutbah tersebut. Dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad dan merupakan pendapat sebagian ulama .

ü  Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah minimal untuk sahnya shalat jumat adalah tiga orang selain imam. Nampaknya kalangan ini berangkat dengan pengertian lughawi (bahasa) tentang sebuah jamaah. Yaitu bahwa yang bisa dikatakan jamaah itu adalah minimal tiga orang.
Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta shalat jumat itu harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang penting jumlahnya tiga orang selain imam atau khatib.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa tidak ada nash dalam Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan jumlah tertentu kecuali perintah itu dalam bentuk jama`. Dan dalam kaidah bahasa arab, jumlah minimal untuk bisa disebut jama` adalah tiga orang.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu`ah : 9)
Kata kalian menurut mereka tidak menunjukkan 12 atau 40 orang, tetapi tiga orang pun sudah mencukupi makna jama`.

ü  Al-Malikiyah
Al-Malikiyah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu baru sah bila dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan khutbah.
Jumlah ini didapat dari peristiwa yang disebutkan dalam surat Al-Jumu`ah yaitu peristiwa bubarnya sebagian peserta shalat jumat karena datangnya rombongan kafilah dagang yang baru pulang berniaga. Serta merta mereka meninggalkan Rasulullah SAW yang saat itu sedang berkhutbah sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang saja.
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri . Katakanlah: `Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan`, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.(QS. Al-Jumu`ah : 11)
Oleh kalangan Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang yang masih tetap berada dalam shaf shalat Jum`at itu itu dianggap sebagai syarat minimal jumlah peserta shalat Jumat. Dan menurut mereka, Rasulullah SAW saat itu tetap meneruskan shalat jumat dan tidak menggantinya menjadi shalat zhuhur.

ü  Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu tidak sah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang yang ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya.
Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
وَعَنْ جَابِرٍ  قَالَ: مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا جُمُعَةً رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيف
Dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah SAW shalat Jum`at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang atau lebih. (HR. Ad-Daruquthuny) .
Inil adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang menjelaskan berapa jumlah peserta shalat jumat di masa Rasulullah SAW. Menurut kalangan Asy-Syafi`iyah, tidak pernah didapat dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40 orang. Tidak pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya Rasulullah SAW dahulu pernah shalat jumat hanya bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka ketika terjadi peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah SAW dan sisa jamaah meneruskan shalat itu dengan shalat jumat.
Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi`iyah meyakini bahwa satu-satu keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat Rasulullah SAW ketika shalat jumat adalah yang menyebutkan bahwa jumlah mereka 40 orang.
Bahkan mereka menambahkan syarat-syarat lainnya, yaitu bahwa keberadaan ke-40 orang peserta shalat jumat ini harus sejak awal hingga akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat jumat yang keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah jumat itu. Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah bagian dari rukun shalat jumat dalam pandangan mereka.
Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka shalat itu harus dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu dilakukan karena tidak tercukupinya syarat sah shalat jumat.
Selain itu ada syarat lainnya seperti :
  • Muqim
Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang yang tinggal di tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat jumat, sehingga keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi hitungan minimal peserta shalat jumat.
  • Laki
Ke-40 orang itu pun harus laki-laki semua, sedangkan kehadiran jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap mencukupi jumlah minimal.
  • Merdeka
Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak tidak bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat jumat.
  • Mukallaf
Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil baligh, sehingga kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat jumat tidak berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.

Ø Tertinggal Shalat Jumat
Para ulama telah bersepakat bahwa siapa yang tertinggal ikut jamaah shalat jumat, maka harus shalat empat rakaat yaitu shalat zhuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan masih ikut shalat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu rakaat bersama imam dalam shalat jumat.
Misal, pada shalat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu dia ikut shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat kedua tapi belum lagi bangun dari ruku`. Maka bila makmum itu masih sempat ruku` bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat bersama imam. Dalam hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal ikut satu rakaat. Jadi bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk menyelesaikan satu rakaat lagi.
Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku` di rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat untuk shalat zhuhur.
Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat, tetapi imam sudah i`tidal (bangun dari ruku`) pada rakaat kedua, maka saat itu dia harus takbiratul ihram dan langsung ikut shalat berjamaah bersama imam tapi niatnya adalah shalat zhuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk shalat zhuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  مَرْفُوعًا مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلاةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا
Dari Abi Hurairah radhiyallahu `anhu“Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (Hadits Muttafaq Alaihi) .
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنِْ صَلاَةِ الجُمُعَةِ وَغَيْرِهَا فَلْيُضِفْ إِلَيْهَا أُخْرَى وَقَدْ تَمَّتْ صَلاَتُهُ - رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat atau shalat lainnya, maka tambahkanlah rakaat lainnya, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni)
Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits lain yang senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya.

Ø Shalat Dzhur Setelah Shalat Jumat
Ada kasus pada masjid tertentu, setelah selesai shalat Jumat, langsung diadakan shalat Dzhuhur berjamaah. Alasannya, karena syak atau keraguan yang muncul takut shalat Jumat itu tidak sah, lantaran beberapa alasan :
Pertama, tidak jauh dari masjid itu terdapat masjid lain yang jaraknya cukup dekat. Padahal konon ada aturan bahwa bila ada dua masjid berdekatan yang sama-sama melaksanakan shalat Jumat, maka salah satunya tidak sah. Yang tidak sah adalah yang shalatnya belakangan.
Kedua, ragu kalau-kalau di antara jamaah yang ikut shalat itu bukan termasuk orang yang muqim. Sebagaimana di perkotaan dimana umumnya masjid-masjid dipenuhi jamaah saat shalat Jumat. Namun belum tentu orang-orang yang memenuhi masjid itu termasuk orang yang muqim di sekitar masjid.
Sementara dalam beberapa kitab fiqih di mazhab As-Syafi`i, ada disebutkan bahwa di antara syarat shalat Jumat itu harus dilakukan oleh minimal 40 orang yang muqim. Bila jumlah jamaahnya kurang dari 40 orang, maka tidak sah shalat Jumat itu.
Demikian juga bila jumlah jamaahnya lebih dari 40 orang, tetapi banyak di antaranya bukan orang yang muqim, melainkan musafir, sehingga jumlah mereka yang muqim kurang dari 40 orang, maka shalat Jum`at seperti ini juga dianggap tidak sah.
Sehingga dengan demikian muncul kemudian ide untuk melaksanakan shalat Dzhuhur setelah shalat Jumat.
Ini merupakan beberapa masalah yang sering diajukan kepada penulis. Bahkan ada seorang ketua takmir masjid yang berterus terang kepada penulis, bahwa dirinya pada setiap pulang dari shalat Jumat di masjid, selalu melakukan shalat Dzhuhur lagi di rumahnya. Hal itu dilakukan karena alasan yang pertama di atas.
Untuk itu penulis perlu memberikan jawaban agar tidak menimbulkan masalah.
Pertama : Memang benar ada ketentuan bahwa di dalam satu wilayah tidak boleh diadakan beberapa shalat Jumat yang berbeda. Hal itu mengingat tujuan shalat Jumat adalah menyatukan seluruh kaum muslimin di satu tempat, sesuai dengan istilah jumat yang bersalah dari berkumpul atau berhimpun.
Namun ketentuan ini tidak lantas menjadi sebuah syarat atau ketentuan yang bersifat kaku. Hal itu karena alasan yang sangat teknis di masa sekarang, apalagi di tengah perkotaan, dimana kebanyakan masjid-masjid yang ada tidak menampung jumlah jamaah yang membeludak. Sehingga dirasa perlu dibangun masjid lainnya agar dapat menampung jamaah.
Tentu saja akan lebih baik bila jamaah dapat tertampung di dalam masjid, dari pada shalat di jalan sehingga mengganggu lalu lintas jalan. Untuk tidak mengapa kalau dalam jarak yang tidak terlalu jauh juga didirikan masjid yang juga mengadakan shalat Jumat.
Bahkan ketika di padang Arafah pun, tiap tenda boleh melakukan khutbah Arafah sendiri-sendiri, padahal ada khutbah yang diselenggarakan oleh pemerintah Saudi Arabia.
Kedua, masalah kekhawatiran bahwa diantara jamaah shalat Jumat terdiri dari orang yang bukan muqim.
Kita bisa menjawab bahwa istilah muqim itu adalah lawan kata dari musafir. Orang yang muqim adalah orang tidak dalam status musafir. Sehingga dalam hal ini, meski jamaah di masjid perkotaan itu memang tidak berumah di dekat masjid, bukan berarti statusnya adalah musafir. Mereka tetap dianggap orang yang muqim, meski rumahnya jauh dari masjid.
Sebagai bukti bahwa mereka bukan musafir tapi orang yang statusnya muqim adalah bahwa mereka belum atau tidak boleh melakukan shalat jama` dan qashr. Seandainya mereka bukan muqimin tapi termasuk musafir, seharusnya mereka boleh menjama` dan mengqashar shalat, dan tidak perlu ikut shalat Jumat.

Ø Tidak Boleh Ada 2 Jumatan pada Tempat yang Sama
Di dalam mazhab As-Syafi`i memang ada ketentuan bahwa tidak boleh ada 2 shalat Jumat di satu tempat yang sama atau berdekatan. Dalam beberapa literatur fiqih mazhab ini, memang ada ketentuan demikian.
Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini tetap ada pengecualiannya. Pengecualinnya adalah bila di satu masjid sudah penuh dan tidak lagi menampung jamaah, maka dibolehkan dibuat lagi jamaah shalat Jumat di dekatnya. Dengan demikian, adanya dua masjid yang berdekatan yang keduanya sama-sama menyeleng-garakan shalat Jumat sangat dimungkinkan, selama masjid-masjid itu tidak mampu lagi menampung jamaah.
Maka tindakan seorang jamaah yang shalat Zhuhur setelah shalat Jumat dengan alasan berjaga-jaga kalau-kalau shalat Jumat itu tidak syah adalah sikap yang mengada-ada serta berlebihan dalam agama.
Padahal ketentuan-ketentuan seperti itu hanya ada dalam satu mazhab, sedangkan di mazhab lain tidak ada peraturan yang seketat itu. Seperti batasan minimal harus 40 orang jamaah atau tidak boleh ada dua Jumat berdekatan. Bukankah agama Islam ini adalah agama yang mudah? Maka memang mudah, mengapa harus dibuat susah?