Sering kali kita menganggap meninggalkan shalat Jum'at itu hal yang biasa, aaaaah kan belum tiga kali, jadi belum di anggap kafir.... sobat sekalina mari kita simak/membaca artikel dibawah ini tentang kewajiban shalat jum'at. semoga menjadi renungan bagi kita semua...
Shalat Jumat disyariatkan di dalam Al-Quran
Al-Kariem, As-sunnah an-Nabawiyah dan juga oleh Ijma` (kesepaktan) seluruh
ulama. Sehingga siapa yang mengingkari kewajiban shalat jumat, maka dia kafir
karena mengingkari Al-Quran dan As-Sunnah.
ü Al-Quran
Di dalam Al-Quran, pensyariatan shalat jumat
disebutkan di dakam sebuah surat khusus yang dinamakan dengan surat Al-Jumu`ah.
Disana Allah telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jumat
sebagai bagian dari kewajiban / fardhu `ain atas tiap-tiap muslim yang memenuhi
syarat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.(QS. Al-Jumu`ah : 9)
ü Sunnah
Ada banyak hadits nabawi yang menegaskan
kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَمْلُوكٌ وَامْرَأَةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيضٌ
رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu `anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap
muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak,
[2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)
مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ
تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ
Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu `anhu
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang meninggalkan 3 kali
shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu Daud,
Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ
وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ
لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu
`anhu berkata bahwa mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas
mimbar,"Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau
Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang
yang lupa".(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan riwayat di atas, meninggalkan shalat
jum`at termasuk dosa-dosa besar. Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin
Iyadh dalam kitabnya Ikmalul Mu`lim Bifawaidi Muslim berkata:
“Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban
pelaksanaan shalat Jum`at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancamam,
penutupan dan penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang
dilakukan), sedang yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi
orang tersebut untuk mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana
yang baik dan mana yang munkar”.
Ø Yang Diwajibkan
Kewajiban shalat jumat berlaku untuk semua umat
Islam, dengan kriteria sebagai berikut :
- Laki-laki, sedangkan wanita tidak diwajibkan untuk
shalat jumat namun bila dia mengerjakan, maka kewajiban shalat zuhurnya
telah gugur (tidak perlu shalat zhuhur lagi).
- Dalam keadaan sehat, sedangkan orang sakit tidak wajib
shalat jumat.
- Dewasa yaitu baligh, sedang anak-anak tidak wajib
shalat jumat.
- Muqimin yaitu orang yang menetap bukan musafir atau
yang sedang dalam perjalanan.
- Merdeka bukan hamba sahaya. Namun ulama berbeda
pendapat tentang dua nomor terakhir itu, apakah termasuk atau tidak.
Ø Yang Tidak Diwajibkan
Orang-orang berikut ini tidak diwajibkan shalat
jumat berdasarkan dalil-dali yang shahih, yaitu :
- Para budak
- Wanita
- Anak-anak
- Orang Sakit
- Musafir
Dalilnya adalah hadits nabi yang telah
disebutkan di atas, yaitu :
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu `anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap
muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak,
[2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)
Ø Tempat Shalat Jumat
Pada dasarnya shalat jumat itu dilakukan di
dalam masjid atau di dalam pusat pemukiman manusia. Bukan di hutan, padang
pasir, pedalaman atau tempat-tempat yang sepi dari manusia.
Di masa Rasulullah SAW dulu, orang-orang yang
tinggal di badiyah (luar kota) harus berjalan jauh untuk masuk ke Madinah untuk
bisa ikut shalat Jumat. Sebab shalat jumat tidak wajib dilaksanakan di luar
wilayah pemukiman yang dihuni masyarakat.
Disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah
mengirim surat kepada penduduk Bahrain untuk melakukan shalat Jumat dimanapun .
Pada zaman kita sekarang ini bila mesjid penuh
sedangkan jumlah orang yang akan melaksanakan shalat jumat tidak tertampung
lagi, boleh membuat shalat jumat di tempat selain masjid. Dan memang secara
statistik, jumlah masjid yang ada tidak mencukupi untuk menampung shalat
seluruh kaum muslimin. Bila ada masjid nampak lengang, kemungkinan besar adalah
kurangnya kesadaran masyarakat sekitar untuk melakukan shalat berjamaah. Jadi
memang jumlah masjid itu kurang cukup dibandingkan dengan jumlah umat Islam.
Boleh memanfaatkan suatu ruangan sebagai tempat
shalat jumat, asalkan tempat itu bersih dan suci. Boleh menggunakan aula, ruang
pertemuan, gedung parkir dan ruangan-ruangan lain yang layak `disulap` menjadi
masjid untuk shalat jumat.
Bahkan dalam kasus seperti itu, menurut sebagian
pendapat, tempat itu untuk sementara waktu berubah hukumnya menjadi mesjid.
Karena itu berlaku pula shalat sunnah dua rakaat tahiyatul masjid. Namun bila
ada pendapat yang menolak hal ini, mungkin saja. Karena pendapat ini tidak
mutlak kebenarannya, tetapi merupakan ijtihad para ulama berdasarkan mashlahat
dan kepentingan umat.
Ø Jumlah Minimal Jama`ah
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunah menyebutkan
paling tidak ada 15 pendapat yang berbeda dalam menetukan batas minimal jumlah
jamaah dalam shalat Jumat .
Meski boleh tidak mencapai 40 orang, bukan
berati setiap beberapa orang boleh menyelenggarakan sendiri-sendiri dengan 2
atau 3 orang. Bukan demikian pengertianya, tetapi bila memang tidak ada lagi
orang muslim lainnya di suatu tempat.
Syeikh Ibnu Taimiyyah berpendapa bahwa shalat
Jum`at boleh dilakukan oleh tiga orang; satu orang berkhutbah dan dua orang
mendengarkan khutbah tersebut. Dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad
dan merupakan pendapat sebagian ulama .
ü Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah minimal
untuk sahnya shalat jumat adalah tiga orang selain imam. Nampaknya kalangan ini
berangkat dengan pengertian lughawi (bahasa) tentang sebuah jamaah. Yaitu bahwa
yang bisa dikatakan jamaah itu adalah minimal tiga orang.
Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta
shalat jumat itu harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang
penting jumlahnya tiga orang selain imam atau khatib.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa tidak
ada nash dalam Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan jumlah tertentu kecuali
perintah itu dalam bentuk jama`. Dan dalam kaidah bahasa arab, jumlah minimal untuk
bisa disebut jama` adalah tiga orang.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.(QS. Al-Jumu`ah : 9)
Kata kalian menurut mereka tidak menunjukkan 12
atau 40 orang, tetapi tiga orang pun sudah mencukupi makna jama`.
ü Al-Malikiyah
Al-Malikiyah menyaratkan bahwa sebuah shalat
jumat itu baru sah bila dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan
khutbah.
Jumlah ini didapat dari peristiwa yang
disebutkan dalam surat Al-Jumu`ah yaitu peristiwa bubarnya sebagian peserta
shalat jumat karena datangnya rombongan kafilah dagang yang baru pulang
berniaga. Serta merta mereka meninggalkan Rasulullah SAW yang saat itu sedang
berkhutbah sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang saja.
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ
لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ
مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau
permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu
sedang berdiri . Katakanlah: `Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada
permainan dan perniagaan`, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.(QS. Al-Jumu`ah
: 11)
Oleh kalangan Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang
yang masih tetap berada dalam shaf shalat Jum`at itu itu dianggap sebagai
syarat minimal jumlah peserta shalat Jumat. Dan menurut mereka, Rasulullah SAW
saat itu tetap meneruskan shalat jumat dan tidak menggantinya menjadi shalat
zhuhur.
ü Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah menyaratkan
bahwa sebuah shalat jumat itu tidak sah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang
yang ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya.
Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu
berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: مَضَتِ
السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا جُمُعَةً رَوَاهُ
الدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيف
Dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu `anhu bahwa
Rasulullah SAW shalat Jum`at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang atau
lebih. (HR. Ad-Daruquthuny) .
Inil adalah dalil yang sangat jelas dan terang
sekali yang menjelaskan berapa jumlah peserta shalat jumat di masa Rasulullah
SAW. Menurut kalangan Asy-Syafi`iyah, tidak pernah didapat dalil yang shahih
yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40 orang. Tidak pernah
disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya Rasulullah SAW dahulu pernah
shalat jumat hanya bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka
ketika terjadi peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan
bahwa Rasulullah SAW dan sisa jamaah meneruskan shalat itu dengan shalat jumat.
Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi`iyah
meyakini bahwa satu-satu keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat
Rasulullah SAW ketika shalat jumat adalah yang menyebutkan bahwa jumlah mereka
40 orang.
Bahkan mereka menambahkan syarat-syarat lainnya,
yaitu bahwa keberadaan ke-40 orang peserta shalat jumat ini harus sejak awal
hingga akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat jumat
yang keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah jumat
itu. Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah bagian dari rukun
shalat jumat dalam pandangan mereka.
Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka
shalat itu harus dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu
dilakukan karena tidak tercukupinya syarat sah shalat jumat.
Selain itu ada syarat lainnya seperti :
Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang
yang tinggal di tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam
perjalanan (musafir), Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat
jumat, sehingga keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi hitungan
minimal peserta shalat jumat.
Ke-40 orang itu pun harus laki-laki semua,
sedangkan kehadiran jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap
mencukupi jumlah minimal.
Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak tidak
bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat jumat.
Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil
baligh, sehingga kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat jumat
tidak berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.
Ø Tertinggal Shalat Jumat
Para ulama telah bersepakat bahwa siapa yang
tertinggal ikut jamaah shalat jumat, maka harus shalat empat rakaat yaitu
shalat zhuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan masih ikut
shalat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu rakaat bersama
imam dalam shalat jumat.
Misal, pada shalat jumat ada seorang yang
terlambat. Lalu dia ikut shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah
berada pada rakaat kedua tapi belum lagi bangun dari ruku`. Maka bila makmum
itu masih sempat ruku` bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat
bersama imam. Dalam hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal ikut
satu rakaat. Jadi bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk
menyelesaikan satu rakaat lagi.
Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada
saat ruku` di rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama
imam. Yang harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat
untuk shalat zhuhur.
Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat,
tetapi imam sudah i`tidal (bangun dari ruku`) pada rakaat kedua, maka saat itu
dia harus takbiratul ihram dan langsung ikut shalat berjamaah bersama imam tapi
niatnya adalah shalat zhuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri
lagi untuk shalat zhuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
مَرْفُوعًا مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلاةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا
Dari Abi Hurairah radhiyallahu `anhu“Siapa yang
mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”.
(Hadits Muttafaq Alaihi) .
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنِْ صَلاَةِ الجُمُعَةِ
وَغَيْرِهَا فَلْيُضِفْ إِلَيْهَا أُخْرَى وَقَدْ تَمَّتْ صَلاَتُهُ - رَوَاهُ
النَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu `anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat
atau shalat lainnya, maka tambahkanlah rakaat lainnya, maka dia terhitung
(mendapat) shalat itu”. (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni)
Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits
lain yang senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya.
Ø Shalat Dzhur Setelah Shalat Jumat
Ada kasus pada masjid tertentu, setelah selesai shalat
Jumat, langsung diadakan shalat Dzhuhur berjamaah. Alasannya, karena syak atau
keraguan yang muncul takut shalat Jumat itu tidak sah, lantaran beberapa alasan
:
Pertama, tidak jauh dari masjid itu
terdapat masjid lain yang jaraknya cukup dekat. Padahal konon ada aturan bahwa
bila ada dua masjid berdekatan yang sama-sama melaksanakan shalat Jumat, maka
salah satunya tidak sah. Yang tidak sah adalah yang shalatnya belakangan.
Kedua, ragu kalau-kalau di antara
jamaah yang ikut shalat itu bukan termasuk orang yang muqim. Sebagaimana di
perkotaan dimana umumnya masjid-masjid dipenuhi jamaah saat shalat Jumat. Namun
belum tentu orang-orang yang memenuhi masjid itu termasuk orang yang muqim di
sekitar masjid.
Sementara dalam beberapa kitab fiqih di mazhab
As-Syafi`i, ada disebutkan bahwa di antara syarat shalat Jumat itu harus
dilakukan oleh minimal 40 orang yang muqim. Bila jumlah jamaahnya kurang dari
40 orang, maka tidak sah shalat Jumat itu.
Demikian juga bila jumlah jamaahnya lebih dari
40 orang, tetapi banyak di antaranya bukan orang yang muqim, melainkan musafir,
sehingga jumlah mereka yang muqim kurang dari 40 orang, maka shalat Jum`at
seperti ini juga dianggap tidak sah.
Sehingga dengan demikian muncul kemudian ide
untuk melaksanakan shalat Dzhuhur setelah shalat Jumat.
Ini merupakan beberapa masalah yang sering
diajukan kepada penulis. Bahkan ada seorang ketua takmir masjid yang berterus
terang kepada penulis, bahwa dirinya pada setiap pulang dari shalat Jumat di
masjid, selalu melakukan shalat Dzhuhur lagi di rumahnya. Hal itu dilakukan
karena alasan yang pertama di atas.
Untuk itu penulis perlu memberikan jawaban agar
tidak menimbulkan masalah.
Pertama : Memang benar ada ketentuan bahwa di
dalam satu wilayah tidak boleh diadakan beberapa shalat Jumat yang berbeda. Hal
itu mengingat tujuan shalat Jumat adalah menyatukan seluruh kaum muslimin di
satu tempat, sesuai dengan istilah jumat yang bersalah dari berkumpul atau
berhimpun.
Namun ketentuan ini tidak lantas menjadi sebuah
syarat atau ketentuan yang bersifat kaku. Hal itu karena alasan yang sangat
teknis di masa sekarang, apalagi di tengah perkotaan, dimana kebanyakan
masjid-masjid yang ada tidak menampung jumlah jamaah yang membeludak. Sehingga
dirasa perlu dibangun masjid lainnya agar dapat menampung jamaah.
Tentu saja akan lebih baik bila jamaah dapat
tertampung di dalam masjid, dari pada shalat di jalan sehingga mengganggu lalu
lintas jalan. Untuk tidak mengapa kalau dalam jarak yang tidak terlalu jauh
juga didirikan masjid yang juga mengadakan shalat Jumat.
Bahkan ketika di padang Arafah pun, tiap tenda
boleh melakukan khutbah Arafah sendiri-sendiri, padahal ada khutbah yang
diselenggarakan oleh pemerintah Saudi Arabia.
Kedua, masalah kekhawatiran bahwa diantara
jamaah shalat Jumat terdiri dari orang yang bukan muqim.
Kita bisa menjawab bahwa istilah muqim itu
adalah lawan kata dari musafir. Orang yang muqim adalah orang tidak dalam
status musafir. Sehingga dalam hal ini, meski jamaah di masjid perkotaan itu
memang tidak berumah di dekat masjid, bukan berarti statusnya adalah musafir.
Mereka tetap dianggap orang yang muqim, meski rumahnya jauh dari masjid.
Sebagai bukti bahwa mereka bukan musafir tapi
orang yang statusnya muqim adalah bahwa mereka belum atau tidak boleh melakukan
shalat jama` dan qashr. Seandainya mereka bukan muqimin tapi termasuk musafir,
seharusnya mereka boleh menjama` dan mengqashar shalat, dan tidak perlu ikut
shalat Jumat.
Ø Tidak Boleh Ada 2 Jumatan pada Tempat yang Sama
Di dalam mazhab As-Syafi`i memang ada ketentuan
bahwa tidak boleh ada 2 shalat Jumat di satu tempat yang sama atau berdekatan.
Dalam beberapa literatur fiqih mazhab ini, memang ada ketentuan demikian.
Namun perlu diperhatikan bahwa ketentuan ini
tetap ada pengecualiannya. Pengecualinnya adalah bila di satu masjid sudah
penuh dan tidak lagi menampung jamaah, maka dibolehkan dibuat lagi jamaah
shalat Jumat di dekatnya. Dengan demikian, adanya dua masjid yang berdekatan
yang keduanya sama-sama menyeleng-garakan shalat Jumat sangat dimungkinkan,
selama masjid-masjid itu tidak mampu lagi menampung jamaah.
Maka tindakan seorang jamaah yang shalat Zhuhur
setelah shalat Jumat dengan alasan berjaga-jaga kalau-kalau shalat Jumat itu
tidak syah adalah sikap yang mengada-ada serta berlebihan dalam agama.
Padahal ketentuan-ketentuan seperti itu hanya
ada dalam satu mazhab, sedangkan di mazhab lain tidak ada peraturan yang
seketat itu. Seperti batasan minimal harus 40 orang jamaah atau tidak boleh ada
dua Jumat berdekatan. Bukankah agama Islam ini adalah agama yang mudah? Maka
memang mudah, mengapa harus dibuat susah?